SERUJI.CO.ID – Saat Rupiah makin melemah terhadap US Dollar hari-hari ini kita perlu sungguh-sungguh memeriksa praktek pengelolaan keuangan kita. Bukan untuk kepentingan politik sesaat, tapi untuk kebaikan rakyat dan negeri ini di masa depan yang lebih panjang. Hal ini untuk mengihtiyarkan kepastian eksistensi Republik Indonesia 2045 saat kita merayakan 100 tahun kemerdekaannya. Siapun Presidennya, kita perlu mengagendakan reformasi sistem keuangan global ribawi saat ini.
Sun Tzu mengatakan bahwa bisnis adalah perang, dan perang untuk menjajah adalah bisnis yang paling menguntungkan. Namun perang tidak perlu dilakukan secara terbuka dengan membawa pasukan tempur dan tank. Cukup dilakukan secara remotely controlled: melalui institusi-institusi dan perjanjian-perjanjian antara mantan tuan dan inlander.
Pemerintah kerdil mencari kambing hitam di antara rakyatnya sendiri. Ia hanya berani membubarkan organisasi massa tertentu dengan tuduhan melawan Pancasila, tapi tidak berani melawan International Monetary Fund (IMF) yang membegal Pancasila sejak awal negeri ini diproklamasikan Bung Karno dan Bung Hatta.
Sistem keuangan global saat ini nekolimik karena melanggengkan perampokan besar-besaran kekayaan sumberdaya alam kita dan negara-negara berkembang lainnya di se antero planet ini. Pemerintah dan para ekonom tahu tapi mereka tidak punya nyali -kalau bukan pengecut atau bahkan pengkhianat konstitusi- karena kenyang dengan sogokan fasilitas dan duit. Charles de Gaulle mundur sebagai Presiden Perancis, Bung Karno dijatuhkan dan John Kennedy dibunuh.
Adalah IMF yang melegalkan sistem keuangan global ribawi ini untuk keuntungan segelintir elite super rich di negara-negara kaya terutama AS : sistem bank sentral, fractional reserve banking dan uang kertas. Bunga pinjaman hanya bagian kecil dari sistem keuangan global ribawi ini. Ketimpangan sosial ekonomi makin serius di tingkat global, regional hingga lokal: yang kaya makin kaya, yang miskin tambah miskin bahkan juga di AS sendiri. Kita dipaksa memproduksi berbagai barang dan jasa, menguras kekayaan kita, tapi AS dkk cukup mencetak uang kertas mereka sendiri untuk membayarnya.
Sejak 1971, Richard Nixon menyatakan melepas janjinya untuk mengaitkan pencetakan USDollar dengan emas. Artinya, Bank Sentral AS atau the Fed bisa mencetak uang kapan saja out of nothing hingga detik ini. Langkah ini dengan bodoh ditiru oleh negara-negara lain. Lalu terbentuklah pasar uang kertas (fiat money): uang boleh diperdagangkan seperti pisang goreng. Tidak ada kesesatan -jika bukan kejahatan- ekonomi yang lebih besar dari ini. Namun oleh para ekonom dibiarkan saja hingga saat ini.
Uang kertas USDollar kuat karena oleh Henry Kissinger di awal 1970an dikaitkan dengan transaksi minyak dan gas atas kesepakatan dengan Raja Faisal dari Arab Saudi sehingga disebut PetroDollar. Upaya-upaya transaksi minyak dan gas bukan dengan USD selalu dipersulit; kalau perlu pemimpin yang berani melakukannya disingkirkan seperti Moammar Khaddafi ataupun Saddam Husein. Saat ini Vladimir Putin Russia dan Xi Jin Ping China sedang memperbesar transaksi-transaksi non-USD.
Banyak Pemerintah boneka pura-pura tidak tahu bahwa penjajahan dilakukan melalui mekanisme utang internasional yang diorkestrasikan oleh IMF. Thomas Jefferson sudah lama mengingatkan bahwa perbankan melalui pinjaman berbunga lebih berbahaya daripada pasukan yang siap tempur untuk merampas kemerdekaan kita. Utang Pemerintah saat ini sudah mencapai Rp. 5000T lebih (hampir separuh PDB kita) sementara utang swasta sedikit lebih kecil. Kita harus berani untuk segera menegosiasikan utang ini agar kita hanya membayar pokoknya saja lalu segera menghentikan kebiasaan berutang.
Utang itu sejauh mungkin harus dihindari. Orang yang mati dalam utang akan kesulitan masuk surga sampai dilunasi oleh ahli warisnya. Muhammad Rasulullah tidak sudi menyolati orang yang mati masih menanggung utang. Orang berutang karena mendahulukan keinginannya daripada kebutuhannya; keinginannya melampaui kemampuannya. Kebutuhan manusia tidak banyak, tapi keinginannya tak berbatas.
Adalah persekolahan yang secara diam-diam menyiapkan budaya berutang. Sekolah mengubah kebutuhan belajar menjadi keinginan bersekolah, lalu menjadi permintaan gedung-gedung dan guru serta semua tetek bengek persekolahan. Padahal belajar (praktek, membaca, menulis dan berbicara) tidak pernah mensyaratkan formalisme persekolahan itu. Kesempatan belajar melimpah (apalagi di zaman internet), tapi bersekolah adalah komoditi langka yang harus dibeli dengan harga tertentu.
Secara perlahan, oleh nyanyian trio bank-sekolah-televisi yang sangat menarik, masyarakat kehilangan kemampuan membedakan mana kompetensi mana ijazah, mana komunikasi mana handphone, mana mobilitas mana mobil, mana kebutuhan mana keinginan, dan mana isi mana bungkus. Begitulah budaya konsumtif dibangun dan masyarakat jatuh ke dalam budaya utang. Ketergantungan masyarakat terhadap utang setara dengan ketergantungan mereka pada sekolah dan televisi.
Untuk sungguh-sungguh merdeka dan berdaulat dengan Pancasila, kita harus mendesak PBB untuk menghentikan praktek nekolim ini atau keluar dari PBB dan menyatakan tidak terikat lagi atas perjanjian-perjanjian perdagangan internasional nekolimik yang memiskinkan banyak negara berkembang dan rakyat di manapun mereka hidup di planet ini.
Kita harus tinggalkan sistem uang kertas dan kembali ke sistem uang emas tunggal yang berlaku di seluruh dunia, dan membuka peluang barter secara lebih luas. Sistem uang tunggal yang memiliki nilai intrinsik akan lebih adil dan menyejahterakan bagi rakyat kecil seperti petani dan nelayan di manapun di planet ini.
Gunung Anyar, 6/9/2018