Bahkan melalui UU Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren, rezim ini telah mulai menyekolahkan pesantren. Pesantren bakal kehilangan kemandiriannya, baik secara kurikulum maupun keuangannya. Persis seperti persekolahan massal paksa milik pemerintah sebagai instrumen teknokratik penyiapan masyarakat buruh yang sekuler, pesantren akan direposisi sebagai bagian dari mesin penjongosan massal.
Upaya lainnya adalah UU yang mengatur keuangan ribawi sesuai dengan konstitusi IMF. Persekolahan bersama televisi merupakan institusional duo dalam rangka menyiapkan masyarakat konsumtif yang hidup dari hutang. Riba itu menjadikan hutang tidak sekedar hutang, tapi hutang yang memperbudak manusia, sekaligus merampas kedaulatannya. Hutang adalah instrumen penjajahan.
Melalui riba ini, proses pemiskinan bangsa ini terjadi melalui proses koruptif yang dilegalkan. Sekalipun korupsi di Indonesia masih berlangsung, skalanya masih relatif kecil dibanding korupsi legal melalui riba ini. Riba adalah akar pemiskinan bangsa ini.
Saat Work From Home (WFH) dan Study From Home (SFH) menjadi kegiatan selama 6 bulan terakhir ini, pandemi ini membuka peluang agar masyarakat Indonesia kembali ke rumah sebagai satuan edukatif dan produktif.
WFH harus digeser menjadi Work At Home, sedangkan SFH diubah menjadi Study At Home. Memang ini membutuhkan keberanian untuk berpikir dan bekerja dengan cara baru. Tapi ini adalah cara paling masuk akal dalam menghentikan proses penjongosan bangsa ini.
Namun kaum buruh harus segera diingatkan bahwa mereka akan diperalat oleh kaum komunis baru untuk mewujudkan rencana-rencana kotornya. Kaum komunis sanggup mengahalalkan semua cara untuk mencapai tujuannya, bahkan dengan cara-cara yang haram dan biadab sekalipun termasuk indoktrinasi massal melalui persekolahan dan riba.
Rosyid College of Arts,
Gunung Anyar, 5/10/2020