KATARSIS.ID –Â Dalam edisi TEMPO terbaru 17/10/2020, menghadapi respon brutal polisi atas rangkaian demo penolakan UU OLCK, dan pengabaian pemerintah pada usulan berbagai Ormas Islam besar dan MUI, editorial media legendaris ini menganjurkan agar masyarakat mulai melakukan pembangkangan sipil.
Hemat saya ide TEMPO ini menarik sekaligus berani. Namun segera harus dikatakan bahwa respons pemerintah atas pandemi Covid-19 dengan adopsi berbagai protokol kesehatan WHO sesungguhnya telah memberi alasan paling kuat untuk melakukan pembangkangan sipil.
Pembangkangan sipil terpenting yang tidak banyak disadari pemerintah sendiri justru saat murid-murid sekolah diminta Belajar Dari Rumah. Pembelajaran dilangsungkan secara online. Sekolah dan kampus perlahan jadi gudang kalau bukan museum selama 6 bulan terakhir. Ini boleh dikatakan sebagai gerakan membolos nasional diam-diam.
Pembangkangan sipil mulai terjadi jika Belajar Dari Rumah secara sadar digeser menjadi Belajar Di Rumah oleh keluarga.
Perlu segera dicermati bahwa sistem pendidikan nasional sejak Orde Baru telah dirancang menjadi sistem persekolahan massal paksa. Belajar diwajibkan di sekolah. Sekolah menjadi tempat guru mengajar, bukan tempat murid belajar.
Pemerintah secara sistematik membangun wacana bahwa sekolah adalah satu-satunya tempat belajar; keluarga dan masyarakat tidak kompeten untuk mendidik warga muda. Selanjutnya keluarga kehilangan kepercayaan diri untuk mendidik sendiri anak-anaknya, lalu mulai pasrah bongkokan pada persekolahan. Bahkan saat ini banyak keluarga tidak sanggup membayangkan hidup tanpa sekolah seperti tidak sanggup membayangkan hidup tanpa utang.
Perlu disadari bahwa sejak UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing, sistem persekolahan massal telah dirancang sebagai instrumen teknokratik untuk menyiapkan tenaga kerja yang cukup trampil untuk menjalankan mesin-mesin pabrik, sekaligus cukup dungu untuk bekerja bagi kepentingan pemilik modal. Sistem persekolahan massal paksa adalah instrumen penjajahan baru yang paling berbahaya. Sistem ini tidak pernah dirancang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dalam perspektif ini Belajar di Rumah adalah sebuah aksi pembangkangan sipil untuk menolak penjongosan massal melalui sistem persekolahan massal paksa sebagai perangkat budaya untuk mensukseskan UU OLCK. Artinya, Belajar Di Rumah akan secara langsung mengancam perwujudan tujuan UU OLCK.
Belajar di Rumah adalah langkah pertama untuk Bekerja di Rumah dalam skala kecil rumah tangga. Keluarga sebagai satuan edukatif akan segera bertransformasi menjadi satuan produktif. Investasi terpenting adalah investasi bagi penguatan keluarga di rumah. Keluarga tidak lagi hanya menjadi variabel konsumtif dalam model ekonomi makro.
Menurut UUD1945, pendidikan sejatinya dimaksudkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bagi Ki Hadjar Dewantara, tujuan utama pendidikan adalah untuk membangun jiwa merdeka. Sistem Pendidikan Nasional seharusnya diarahkan untuk menyediakan syarat-syarat budaya bagi bangsa yang merdeka.
Sistem persekolahan massal paksa tidak pernah dimaksudkan untuk membangun jiwa merdeka pada setiap warga negara. Yang diharapkan adalah masyarakat yang patuh dan disiplin serta memiliki ketrampilan teknis sebagai tenaga kerja. Bagi persekolahan, kesadaran berwarga negara tidak terlalu penting, apalagi jiwa merdeka. Sikap merdeka warga negara justru berpotensi mengganggu investasi.
Anjuran TEMPO itu sesungguhnya terlambat karena sesungguhnya pembangkangan sipil itu sudah dimulai enam bulan lalu sejak murid mulai belajar dari rumah. Belajar tidak bisa dan tidak boleh lagi dimaksudkan semata hanya untuk menjadi buruh bagi orang lain. Saatnya kita perkuat upaya ini menjadi Belajar di Rumah agar lebih bermakna : menjadi bangsa yang merdeka (mandiri, sehat dan produktif) dengan menolak penjongosan massal bangsa ini.
Rosyid College of Arts,
Gunung Anyar, Surabaya,
19/10/2020