Perlu dicermati bahwa bagi Ki Hadjar pendidikan adalah untuk membentuk jiwa merdeka. Di atas lahan jiwa merdeka itulah karakter jujur, amanah, peduli dan cerdas dapat bertumbuh kembang sehat. Pendidikan adalah perluasan kesempatan membaca, mengalami, menulis dan berbicara. Pendidikan tidak pernah mensyaratkan formalisme persekolahan yang makin birokratik.
Sejarah Indonesia modern kemudian mencatat bahwa sebagai bangsa kita gagal menyediakan prasyarat budaya untuk menjadi bangsa merdeka. Kegagalan ini dan keterpurukan multi-dimensional sebagai konsekuensinya itu bukan kebetulan, tapi memang by design sebagai hasil dari penjajahan berbentuk baru yang oleh Bung Karno disebut nekolim. Penjajahan bentuk-baru remotely controlled ini dimulai dari penjajahan pikiran yang disusupkan melalui instrumen teknokratik yang disebut persekolahan, ie. the school system, lalu diikuti serangkaian institusi ekstraktif seperti IMF dan WTO. Tidak banyak yang menyadari bahwa persekolahan tidak pernah dirancang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Persekolahan dirancang untuk menyiapkan tenaga kerja trampil dan pasar yang dibutuhkan bagi industrialisasi besar-besaran melalui investasi asing, terutama di sektor pertambangan.
Persekolahan paksa massal sebagai instrumen teknokratik terobsesi dengan mutu sehingga lebih mengutamakan keseragaman, keteraturan, kepastian, dan kedisiplinan melalui standard. Jadi yang sesungguhnya terjadi memang pendisiplinan massal seperti yang kini dialami oleh masyarakat muslim Uyghur di Xinjiang, China. Padahal keberagaman, ketidakteraturan, ketidakpastian dan keliaran adalah fitrah kehidupan.
Yang terjadi dalam masyarakat industri kemudian adalah manipulasi pikiran secara sistemik, terstruktur dan massiv melalui persekolahan. Di sinilah seni dan budaya mengalami pengerdilan, pengasingan dan penelantaran secara sengaja. Sir Ken Robinson mengatakan bahwa sekolah adalah lembaga yang paling bertanggungjawab atas krisis sumberdaya manusia selama 40 tahun terakhir ini.
Tidak saja seni, budaya dan olahraga terpinggirkan dalam pendidikan dasar, secara umum relevansi (personal, spasial dan temporal) dikalahkan oleh mutu. Di banyak sekolah murid mungkin belajar banyak, kecuali menjadi dirinya sendiri yang unik. Pendidikan menjadi tidak bermakna bagi banyak anak. Banyak sekolah hanya menjadi tempat guru mengajar, bukan tempat murid belajar.
Setelah pelemahan keluarga, masjid bukan lagi menjadi simpul kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masjid dikerdilkan hanya menjadi tempat suci tempat kita melakukan ritualitas sebagai rutinitas. Sementara itu, kehidupan kita makin mengalami dekadensi moral : penyalahgunaan narkoba, pornografi, prostitusi, kekerasan dan LGBT, serta korupsi. Jawa Timur mencatat sebagai provinsi dengan angka prevalensi AIDS, penyalahgunaan narkoba, dan angka perceraian tertinggi di Indonesia.
Kita mesti mengingat amanah Ki Hadjar dan melihat kembali pendidikan sebagai strategi kebudayaan untuk menjadi bangsa merdeka, bukan sebagai instrumen teknokratik belaka. Kita perlu menguatkan peran keluarga dan masyarakat dalam sistem pendidikan kita. Di abad internet dan menyongsong Society 5.0, kita kembangkan jejaring belajar ( learning webs) yang lentur dan luwes, dengan mengutamakan relevansi, bukan mutu. Di dalam jejaring itu keluarga dan masjid menjadi simpul-simpul Self Organised Learning Environment yang mandiri.
Dengan strategi itulah kita berharap melalui pendidikan kita akan berhasil menyediakan syarat budaya sebagai bangsa merdeka.
Rosyid College of Arts and Maritime Studies,
Gunung Anyar 1/2/2019