KATARSIS.ID – Jauh sebelum pandemi ini meluluhlantakkan kehidupan, manusia sebagai spesies paling terorganisir telah sukses merusak ekosistem alam semesta habitat satu-satunya manusia sendiri. Keserakahan telah mendorong konflik dan perang perebutan sumberdaya yang tidak kunjung selesai selama paling tidak 100 tahun terakhir ini.
Dibalik ancaman pandemi ini, keruntuhan ekosistem dan perang nuklir adalah ancaman laten yang lebih berbahaya yang mengancam eksistensi manusia.
Dua kecenderungan destruktif itu semula bisa dimoderasi melalui proses-proses demokrasi agar pengambilan keputusan publik yang penting dielaborasi melalui partisipasi masyarakat luas sebagai pihak yang paling memikul akibat proses-proses pengambilan keputusan publik tersebut. Namun, beberapa tahun terakhir ini justru menunjukkan bahwa demokrasi di banyak tempat sedang sekarat ditimbun bongkar-bongkaran berbau busuk persekongkolan executhieves, legislathieves dan judicathieves.
Kematian demokrasi itu di Indonesia secara tidak langsung diumumkan secara terbuka oleh Arteria Dahlan yang dengan angkuh mengancam Komnas HAM agar tidak menyentuh DPR yang sedang sibuk melayani siapapun kecuali rakyat.
Namun intimidasi anggota DPR itu tidak bakal menyurutkan warga negara yang berjiwa merdeka yang menyadari bahwa tugas-tugas politiknya tidak pernah selesai di bilik suara. Bahkan tugas-tugas itu segera dimulai begitu kakinya keluar dari bilik sempit dan pengap itu. Sayang tidak banyak warga negara yang cukup cerdas untuk memahami tugas-tugas politik itu dan cukup berani untuk mengatakannya secara publik. Kecerdasan dan keberanian itu hanya muncul dari jiwa yang merdeka.
Tidak banyak yang tahu bahwa jiwa merdeka itu justru sengaja dilenyapkan oleh proses-proses budaya yang terjadi melalui persekolahan paksa massal selama paling tidak 50 tahun terakhir sejak Orde Baru. Melalui persekolahan paksa massal itulah pendidikan dibegal secara terstruktur, sistematik dan masif menjadi instrumen teknokratik pendunguan massal: menyiapkan tenaga kerja yg cukup cerdas untuk menjalankan mesin-mesin sekaligus cukup dungu untuk tekun bekerja bagi kepentingan pemilik modal.
Ini dengan cerdik oleh birokrasi disebut profesionalisasi. Sistem persekolahan tidak pernah dirancang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa karena bertentangan dengan kepentingan pemerintah yang lebih suka mengabdi pada para investor.
Namun pandemi ini telah berhasil memaksa banyak warga muda menjauhi persekolahan dan membuka peluang emas untuk memulai sebuah upaya perwujudan syarat-syarat budaya bagi bangsa yang merdeka. Pendidikan tidak bisa dan tidak boleh lagi dikerdilkan melalui monopoli radikal persekolahan. Sir Ken Robinson menyebut deschooling ini sebagai revolusi pendidikan. Pendidikan harus lebih dipahami sebagai upaya bersama memperluas kesempatan belajar sebagai proses kreatif pemerdekaan jiwa, bukan sekedar penguasaan kompetensi akhlaq, apalagi cuma kompetensi kinerja. Akhlaq mulia tidak mungkin tumbuh di dalam jiwa budak.
Pilar pokok pendidikan yang memerdekakan itu adalah keluarga di rumah, tidak di sekolah atau di tempat lain. Masyarakat bisa membantu keluarga melaksanakan tugas-tugas pendidikan melalui praktek bertetangga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang sehat. Sekolah boleh menambah dan melengkapi peran keluarga dan masyarakat, terutama dengan menyediakan perpustakaan, akses internet cepat, studio, sarana olahraga dan bengkel, serta kepakaran.
Benar yang dikatakan Amartya Sen bahwa pembangunan adalah upaya perluasan kemerdekaan sedangkan kemerdekaan itu sendiri harus disediakan melalui pendidikan yang membangun jiwa merdeka.
KA Turangga Surabaya-Bandung, 18/9/2020