Namun, rakyat tidak dapat terima. Alasannya adalah Indonesia dibanjiri oleh pendatang Cina selama rezim Jokowi berkiblat ke China. Hal ini memungkinkan penyebaran virus itu ke Indonesia lebih cepat dibandingkan negara-negara tetangga, seperti Singapore dan Malaysia, yang tidak berkiblat politik ke China.
Jokowi mengatakan sudah menyediakan alat pendeteksi di setiap airport kedatangan? Tapi, bukankah deteksi itu tidak menangkap gejala yang kondisinya masih inkubasi? Koran Republika online, 27 Januari, misalnya menurunkan berita “dua turis China pengidap virus corona, lolos dari Thermal Scanner di airport Prancis”. Apakah airport kita lebih canggih dari Prancis dalam hal ini?
Lalu, Menteri kesehatan mengatakan bahwa pemerintah Komunis RRC menjamin semua warganya yang datang ke Indonesia bebas flu 2019 cNoV itu. Apakah pemerintah kita tergantung dari pernyataan pemerintah RRC?
Lalu bagaimana mengukur tanggung jawab Jokowi dalam isu ini?
Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo dan Wakil Ketua DPR RI, Dasco Sufmi Ahmad, minta pemerintah membuat “travel warning”. Bambang meminta tiru saja negara seperti Amerika dan Inggris yang mengeluarkan travel warning bagi warganya untuk tidak plesiran ke Cina. Bambang juga meminta agar wisatawan Cina dilarang masuk Indonesia. Ketika Amerika menaikkan travel warning klasifikasi 3 untuk China dan klasifikasi 4 untuk Wuhan,
Hubei, pemerintah Indonesia mengeluarkan “travel advice”. Kata Bambang, travel advice itu tidaklah cukup.
Dasco Ahmad, di sisi lainnya, selain meminta cegah turis China, meminta juga pemerintah membuat tim khusus dalam menghadapi virus corona ini.
Pandangan kedua wakil rakyat ini mendekati pikiran rakyat. Beberapa hari sebelum mereka, ketua PHRI, Harijadi Sukamdani, sudah meminta stop turis China. Namun, sebaliknya pemerintah kurang sensitif.
Bahkan, ketika Lion Air terbang ke Wuhan pada tanggal 26 Januari, membawa penumpang China dari Bali, pesawat itu pulang kosong. Bukankah seharusnya pesawat itu mengevakuasi nyawa anak-anak Indonesia di Wuhan?
Sekali lagi, pemerintah kurang sensitif menenangkan rakyat kita.
Hancurnya KPK dan Integritas Menteri
Anggota KPU yang paling vocal, Wahyu Setiawan ditangkap KPK, pada 7 Januari 2020. Dua komisioner KPU lainnya, saat ini, diperiksa sebagai saksi, termasuk ketua KPU.
Penangkapan ini masih dengan pola lama, OTT (operasi tangkap tangan). Artinya tanpa ijin Dewan Pengawas.
OTT ini kemudian akan dikembangkan untuk menjerat sekjen PDIP, karena penyuapan Wahyu dilakukan dalam otoritas kekuasaan Sekjen PDIP, yakni mengganti anggota DPR RI asal PDIP Sumsel.
Pengembangan yang dilakukan KPK terhambat. Karena KPK versi UU KPK revisi, yang dilakukan Jokowi pada akhir masa jabatan jilid satu, Oktober 2019, menjadikan KPK membleh alias lemah.
Kelemahan KPK versi UU 19 Tahun 2019 dinyatakan sendiri oleh anggota Dewan Pengawas KPK, professor Syamsudin Haris.
Dalam konteks korupsi Wahyu Setiawan, gerakan KPK untuk menangkap tersangka utama, Harun Masiku, dan Hasto, sekjen PDIP, sebagaimana merujuk pemberitaan Tempo, tidak dapat dilakukan karena KPK terhalang pada kecepatan dan otoritas yang lumpuh di lapangan. Pelaksana KPK yang akan mencari Hasto di PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian) malah “ditangkap” polisi, diintrogasi selama 7 jam.
Penggeledahan yang akan dilakukan KPK ke kantor PDIP, paska OTT Wahyu, dihadang oleh pihak keamanan kantor PDIP. Mereka minta KPK harus menunjukkan bukti ijin dari Dewan Pengawas KPK.