Minus Solidaritas Untuk Uighurs
Indonesia sebagai bangsa mayoritas Islam terikat pada solidaritas Islam internasional. Dalam kasus Palestina, misalnya, Bung Karno yang Marhaenis Nasionalis, menyatakan permusuhan dengan Israel ketika negara Jahudi itu menduduki Palestina.
Dalam konteks Uighurs, bangsa Indonesia merasakan kepedihan atas pembantaian Muslim Uighurs di China. Ratusan ribu atau bahkan jutaan mereka sedang disiksa. Kamp-kamp di Xin Jiang, China mempunyai level kekejaman, dari mulai level mencuci otak orang Uighurs agar meninggalkan Islam, maupun sampai kepada menyiksa mereka yang dianggap pemberontak dan teroris.
Ketika rakyat Indonesia berduka atas kaum Uighurs, pemerintah Jokowi terlihatnya tidak mengambil pusing. Rezim Jokowi melihat kasus Uighurs sejalan dengan pandangan RRC, bahwa hal itu urusan separatisme belaka.
Sikap pemerintahan Jokowi tentu saja terkait dengan kiblat pemerintahan Jokowi yang cenderung pro RRC. Jokowi mungkin takut bantuan bantuan utang dan investasi RRC akan di stop jika pemerintahannya menunjukkan solidaritas pada bangsa Uighurs itu. Sikap ini adalah sikap pragmatis, “money for anti humanity“. Apakah ini sesuai dengan sila kedua Pancasila, Prikemanusian Yang Adil dan Beradab?
Kedaulatan Natuna
Indonesia bukanlah negara yang merdeka karena belas kasihan penjajah. Meski Bung Karno bersekutu dengan Jepang dalam masa pendudukan Jepang di Indonesia, perlawanan Bung Karno dan kawan-kawan terhadap penjajah jelas nyata.
Dalam 100 hari pemerintahan Jokowi, pemerintah China mengumumkan bahwa Indonesia setuju atau tidak, hak China atas laut Natuna bersifat final. Oleh karenanya China ingin bebas menangkap ikan dan berpatroli di laut Natuna.
Rakyat Indonesia marah terhadap sikap China ini Tentara kita bergerak menjaga kedaulatan. Laskar laskar rakyat mulai siap berjihad melawan China. Karena hal China di Laut Natuna sudah dinyatakan klaim salah oleh pengadilan internasional.
Namun, sikap marah rakyat Indonesia ini berbeda dengan sikap pemerintahan Jokowi. Jokowi dan rezimnya mengatakan bahwa China adalah sahabat. Lalu bertanya, apakah kita bersahabat dengan pencuri?
Ekonomi Memburuk
Situasi ekonomi memburuk. Pertumbuham dunia jatuh kekisaran 3% sebelum isu virus Corona muncul. Dalam situasi tersebut, pertumbuhan Indonesia terpuruk di bawah angka “magic”, 5%. Bank Dunia meyakini pertumbuhan menurun ini bersifat trend sampai 4,2 % pada tahun 2022.
Sebelum merebak isu virus Corona, Indonesia berharap dapat bantuan massif dari RRC. Baik investasi maupun perdagangan. Namun, bencana RRC membuat situasi akan lebih buruk.
Bagaimana situasi ekonomi terkahir ini?
Pemasukan negara melalui pajak tahun lalu tidak tercapai. Hanya sekitar 84%. Pajak sebagai andalan utama pemasukan, jika gagal, harus membuat revisi APBN dilakukan secara serius. Korbannya secara umum adalah subsidi.
Mazhab ekonomi ala rezim Jokowi yang dimotori Menkeu Neoliberal adalah standar yakni Austerity. Apa itu? pemangkasan subsidi.
Maka pemerintahan Jokowi dalam 100 hari ini sibuk memikirkan penghapusan subsidi.
Pemerintah mulai menaikkan iuran BPJS Kesehatan, menaikkan tarif tol, akan menaikkan tarif listrik setelah Maret, dan bahkan terakhir akan mencabut semua subsidi Gas Melon 3 Kg.
Pedagang gorengan yang berdikari di sektor informal, mulai stres mendengar isu gas melon harganya pada harga pasar, yakni sekitar Rp35.000. Apa kami masih bisa cari makan (nafkah)? keluh mereka.
Pegawai honorer mulai marah. Mereka mengutuk Raker Komisi 2 DPR-RI dan Kementerian PAN yang berencana menghapus pegawai honorer. Pengangguran yang dijanjikan digaji atau disubsidi, hilang lagi isunya. Namun, ini adalah konsekwensi penghapusan subsidi itu.
Situasi keterpurukan ekonomi Indonesia ini kebanyakan disebabkan pemerintah tidak mampu mengendalikan pembangunan yang berorientasi kedaulatan, kemandirian dan pemerataan. Orientasi ekonomi yang bersandar pada utang dan impor, telah menjebak Indonesia menjadi negara konsumtif. Contohnya, kita memproduksi semen over produksi sekitar 30 juta ton, namun malah memasukkan sebanyak-banyaknya semen dari China. Akhirnya pabrik-pabrik kita kalah bersaing.
Berbagai industri lainnya juga hancur seperti baja (baca: Krakatau Steel). Dan banyak lainnya. Hancurnya pabrik-pabrik ini membuat bangsa kita kehilangan lapangan kerja. Anak-anak muda milenial bersandar pada mimpi “unicorn” dan terjebak pada ojek online.
Utangpun terus menggunung. Ruchir Sharma, Investment Guru, selalu mengajarkan hati-hati dengan utang. Utang itu awalnya indah, lalu menjadi kecanduan utang, lalu menjadi terperangkap dan akhirnya ketakutan. (Debt trap, debtomania, debtophobia). Penyebabnya, utang ini membawa manfaat bagi broker-broker utang, baik lembaga keuangan resmi maupun politisi.
Belum ada tanda tanda Jokowi mampu menjelaskan bagaimana nasib rakyat ke depan. Rakyat semakin sulit mencari kerja. ADB melansir 20 juta orang kelaparan. Apakah ada tanda-tanda pemerintah mampu menolong keadaan?
Penutup
Berbagai persoalan yang dihadapi pemerintah Jokowi jilid dua selama 100 hari ini menunjukkan fakta bahwa situasi bangsa kita dalam kondisi keterpurukan. Kalau bangsa terpuruk, asalkan koruptor dihukum mati, maka rakyat masih bisa toleransi.
Persoalannya koruptor-koruptor kakap saat ini adalah orang-orang kaya raya, seperti geng Benny Tjokro, yang membobol asuransi Jiwasraya dan ASABRI. Bahkan nama Tan Kian, taipan properti raksasa sudah mulai disebut-sebut Kejaksaan Agung terkait juga. Mereka merampok harta negara tanpa takut sama sekali. Mungkin mereka sudah menganggap bangsa ini adalah bangsa budak.
Nah, dalam 100 hari pemerintahan Jokowi, belum ada tanda-tanda bangsa kita akan tumbuh menjadi kuat (kembali). Semua persoalan di atas hanya menggambarkan pesimisme. Padahal Indonesia saat ini sedang butuh pemimpin yang kuat, pembasmi koruptor dan memihak pada nasib rakyat. Dan ini belum nampak menonjol dalam diri Jokowi serta rezimnya dalam 100 hari pemerintahan mereka.