Seorang pimpinan partai Gerindra, kemarin lalu, mengirimkan japri ke saya sebuah berita situs online nasional yang memberikan judul “Presiden harus orang Jawa”, di mana disitu Prabowo, sambil menyinggung nama yang ada “no” nya, yang bisa jadi presiden hanya orang Jawa, sedang Fadli Zon, tanpa nama Jawa, tidak mungkin jadi Presiden.
Dalam pidato ulang tahun ke-10 Gerindra, yang dapat diakses di YouTube, urusan nama Jawa ini berkali-kali diulangi Prabowo, sehingga mengesankan bahwa urusan orang Jawa sebagai syarat bagi capres 2019 menjadi serius bagi Partai Gerindra saat ini. Bukan lagi sebuah candaan (joke) pidato
Soal Jawa sebagai syarat Presiden itu, kemudian diberitakan berbagai media nasional. Dan itu tentunya perlu menjadi perhatian kita.
Mengapa perlu diperhatikan? Pertama, soal Jawa vs non Jawa ini adalah polemik lama bangsa Indonesia sejak zaman penjajahan.
Sejarah mencatat konsep Jawa dalam gerakan kebangsaan kita sangat kental diawal-awal pergerakan. Dr. Soetomo, pendiri Budi Utomo, ketika diskusi di Studie Club di Soerabaja, tahun 20an, bahkan pernah mengejek Haji Agus Salim bukan “orang kita”.
Namun, semakin matang gerakan politik kebangsaan, dan mulai digulirnya Bahasa Indonesia sebagai bahasa alterntif selain Jawa, saat itu, perlahan-lahan ke Indonesian semakin menguat. Robert Elson, mengutip Bernard Dahm, dalam The Idea of Indonesia, 2008, mengatakan bahwa selain kematangan para tokoh-tokoh perjuangan bangsa kita, ada faktor lain, yakni ke Indonesiaan itu sekaligus sebagai pilihan dari alternatif lain yakni politik yang berbasiskan agama Islam.
Adanya Bangsa Indonesia dan negara Indonesia, sejak perjuangan, Sumpah Pemuda, hingga proklamasi kemerdekaan, tentunya merupakan sebuah keniscayaan adanya bangsa baru, yang bertumpu pada dua hal yakni 1) Bangsa ini mempunyai historis sebagai sebuah bangsa yang satu di masa lalu. Contoh baiknya terwujud dalam himpunan kerajaan di bawah Sriwijaya maupun Majapahit. 2) Indonesia merupakan sebuah cita cita besar yang akan diwujudkan dalam suasana Indonesia merdeka. Indonesia Raya.
Tumpuan pertama yang bersifat historis ini, merupakan pernyataan bahwa suku suku bangsa kita adalah inti dari keberadaan Indonesia. Antony D. Smith, sosiolog Inggris, misalnya mengetengahkan pandangannya, bahwa inti (core) dari sebuah bangsa seperti suku suku pembentuk bangsa itu, merupakan syarat adanya sebuah bangsa.