KATARSIS.ID –Â Seperti drama korea (drakor), ada yang menangis ada yang tertawa. Akhirnya perburuan rekom PDIP untuk pilwali Surabaya mencapai antiklimaks, Rabu (2/9).
And the winner is…Tri Rismaharini sebagai sutradara terbaik. Dan pemain utamanya adalah Eri Cahyadi, yang selama tiga tahun terakhir disiapkan dengan sistematis oleh Risma untuk menjadi pewaris dan penerus dinasti politiknya sebagai walikota Surabaya.
Pemain figuran adalah Armuji, yang ketiban rezeki karena positioningnya yang nriman menjadi calon wakil walikota. Jabatan yang dalam 10 tahun terakhir ini tidak efektif dan aktivitasnya seperti mesin Panther, nyaris tak terdengar.
Korban yang paling sakit, siapa lagi kalau bukan Whisnu Sakti Buana. Ia seperti pesakitan yang diplonco dipaksa mendengarkan vonis mematikan.
Whisnu berusaha tatag, berdiri di depan kamera menghadap Megawati Soekarnoputri. “Aku tidak akan buang kamu, Whisnu,” kata Mega.
Siap, Bu. Whisnu mengepalkan tangan ke dadanya, menahan matanya yang mengembang basah. Berakhir sudah perjuangan dan ambisinya untuk menjadi walikota Surabaya.
Lima tahun terakhir mendampingi Risma tidak cukup meyakinkan elite PDIP untuk mencalonkan Whisnu. Jelas sudah bahwa Megawati hanya mendengarkan suara Risma, bukan hasil survei, bukan lainnya.
Sepuluh tahun memimpin Surabaya Risma banyak dikagumi, terutama oleh Megawati. Jauh hari sudah beredar kabar Mega akan memberi cek kosong kepada Risma untuk diisi siapa yang bakal menjadi penerus dinasti politiknya.