Risma sedang memainkan kartu dinasti politik. Ia tidak menunjuk anak biologisnya, Fuad Benardi, yang sempat muncul namanya, untuk menjadi penerusnya. Risma menunjuk anak birokratisnya, Eri Cahyadi, untuk jadi penerusnya.
Lawan yang dihadapi lumayan tangguh, pasangan Machfud Arifin dengan Mujiaman Sutrisno, bekas anak buah Risma di PDAM.
Ini adalah pertarungan dan pertaruhan gengsi dan reputasi politik Risma. Dia pasti akan habis-habisan berkampanye untuk Eri. Ini adalah kartu truf terakhir yang dipegang Risma. Kalau kali ini Risma kalah karir politiknya akan berada di ujung tanduk banteng.
Risma diuntungkan karena dia bisa tetap memegang jabatannya sampai pilwali selesai. Ia akan memaksimalkan semua privilege-nya untuk berkampanye melanggengkan dinasti politiknya. Risma akan menjadi vote getter, pendulang suara yang ditunggu-tunggu oleh pemilih Surabaya.
Beruntung masih ada Armuji yang sudah cukup berakar di kalangan kader dan konstituen PDIP. Tiga periode di dewan menjadi bukti Armuji bisa memainkan grass root, akar rumput.
Bahwa dia pernah menyentil Risma dengan mengungkit soal makelar proyek di Pemkot Surabaya, itu adalah drakor episode masa lalu. Bahwa Armuji dikait-kaitkan dengan kasus hukum beberapa anggota dewan di DPRD Surabaya, anggap saja itu gonggongan anjing.
Akan halnya Eri, dia sudah tidak perlu lagi “shy shy cat“, malu-malu kucing, kata Tukul. Saatnya pemilih Surabaya tahu bagaimana kualitas Eri. Pemilih Surabaya harus tahu kemampuan Eri supaya pemilih tidak tertipu membeli kucing dalam sewek alias jarit.
Eri jangan jadi anak mama yang hanya duduk manis di belakang ibunda. Apalagi jadi wayang kulit, wayang golek, atau wayang potehi dari Tiongkok.