Di Jember, Faida, kepala daerah petahana, beberapa waktu yang lalu mengungkapkan praktik jual-beli rekomendasi parpol itu. Sebagai bupati bertahan, Faida memilih untuk tidak maju melalui jalur partai karena dia tidak mau terlibat dalam politik ojek dengan membayar miliaran rupiah untuk mendapatkan rekom.
Pernyataan blak-blakan Bupati Faida ini seperti bomshell, bom yang meledak dan mengagetkan banyak orang. Pernyataannya menjadi viral dan ia menjadi sumber berita yang dicari-cari media nasional.
Publik seolah-olah terkejut dengan pernyataan ini. Padahal publik sudah lama mendengar desas-desus ini. Baru kali ini seorang kepala daerah petahana berani membongkar praktik tidak sedap ini kepada publik.
Para pimpinan parpol biasa-biasa saja menghadapi serangan bom ini. Tidak ada yang bereaksi keras apalagi melaporkan Faida ke polisi karena pencemaran nama baik. Rupanya parpol insaf mereka sudah tercemar atau tidak punya nama baik.
Seorang kepala daerah yang jujur dan lugas seperti Faida malah dianggap sebagai political naive, naif politik, karena melawan arus konvensi yang selama ini jamak berlaku.
Faida, wanita berlatar belakang etnis Arab dan sebelumnya berprofesi sebagai dokter medis dianggap merusak tatanan politik yang selama ini dianggap sebagai kelaziman.
Bahwa politik adalah art of possibilities, seni segala macam kemungkinan, tidak ada yang tidak mungkin dalam politik. Tidak ada lawan dan kawan abadi dalam politik. Kepentinganlah yang abadi dalam politik.
Selama ada fulus semua mulus. Tanpa fulus ente mamfus. Itulah jargon politik sekarang ini. Yang terjadi adalah quid pro quo, saya dapat apa kamu dapat apa. Syaiun li Syai’in (maaf, nama Ketua KPU Jember kebetulan M. Syai’in) sesuatu untuk sesuatu. Ana khamsin ente khamsin, saya separoh kamu separoh, bagi rata.