Selama lima tahun memerintah Faida dianggap tidak memberi faedah kepada parpol dan anggota DPRD Jember. Seringkali ia berseteru daripada harus berkompromi, sampai terjadi deadlock anggaran dan diimpeach oleh parpol.
Karena sikapnya yang non-kompromi Faida malah kena penalti dari Gubernur Jatim, Khofifah, berupa penghentian gaji selama enam bulan.
Bagi Faida politik harus memberi faidah kepada rakyat bukan kepada parpol atau elite politik. Karena pandangan yang tegak lurus seperti ini Faida dianggap tidak membawa faidah bagi parpol, karenanya tidak ada satu pun parpol yang mau memberinya rekom tanpa mahar.
Politik tanpa mahar terdengar seperti angsor, angin sorga, jauh dari realitas. Ongkos politik dan politik transaksional menumbuhkan biaya mahal.
Menteri Polhukam Mahfud MD menengarai 92 persen calon kepala daerah dibiayai cukong. Imbalannya nanti setelah menang akan memberi konsesi proyek kepada cukong yang sudah menjadi bohir. Tidak ada makan siang gratis.
David Aspinall dan Ward Berenschot menyebut bahwa demokrasi Indonesia sudah tergadai, Democracy for Sale; Pemilu, Klientelisme, dan Negara di Indonesia (2019). Modal politik yang didapat dari bandar akan dibayar dengan proyek dan konsesi kebijakan untuk membayar modal para bandar.
Tidak banyak yang berani mendobrak tabu politik ini. Bahkan para petahana banyak yang menyerah terhadap tekanan ini.
Faida berani mendobraknya. Ia meninggalkan parpol dan mendekati rakyat. Ia menggandeng Dwi Arya Nugraha Oktavianto, anak muda, pengusaha, dan penggiat olahraga yang milenial. Pasangan ini akan menjadi martir mendobrak oligarki parpol.
Banyak yang percaya, nasib politik bergantung pada garis tangan, tanda tangan, dan buah tangan.
Pasangan Faida-Vian akan menantang sejarah apakah mereka bisa menang cukup dengan garis tangan, tanpa tanda tangan dan buah tangan. (*)