Nadiem Makarim menjadi menteri. Pertanyaannya, apakah ditariknya pendiri dan CEO Gojek itu menjadi menteri menguntungkan bangsa ini secara ekonomi? Atau justru kita sebagai bangsa buntung? Mari kita cermati.
Pertama, walaupun telah disebut-sebut sebagai decacom, Gojek masih berada pada posisi perusahaan startup. Gampangnya, startup adalah perusahaan dengan konsep baru yang masih mencari jati diri. Masih mencari bentuk. Masih mencari DNA. Melakukan perbaikan dan penyesuaian sana-sini agar untuk menjadi perusahaan mapan. Ciri kemapanannya adalah menghasilkan omzet dan laba meningkat stabil.
Apakah Gojek sudah mencapainya? Karena belum tercatat di lantai bursa tentu publik tidak bisa mendapatkan informasi yang cukup. Namun demikian, sebagai orang yang sehari-hari bekerja menelanjangi perusahaan saya berani menarik kesimpulan. Dan saya yakin akan akurasi kesimpulan itu. Dari gerak-gerik dan strateginya di dunia bisnis bisa disimpulkan bahwa Gojek belum laba. Gojek masih rugi.
Kedua, sebagai perusahaan start up dengan posisi seperti di atas, Gojek harus bekerja keras menjaga satu dari dua hal. Segera memperoleh laba atau tetap memperoleh kepercayaan investor untuk tambahan suntikan modal. Jika salah satu dari keduanya tidak diperoleh, Gojek akan mati seperti matinya OFO bike rental.
Artinya, Gojek masih dalam risiko tinggi. Dalam kondisi seperti ini, hanya sang pendiri lah yang paling berkompeten untuk menanganinya. Pendiri lah yang berkompeten menjadi CEO alias direktur utama dalam istilah hukum kita.
Ketiga, sudah dipahami dan sering dikeluhkan bahwa pemegang saham Gojek adalah perusahaan-perusahaan investasi (Investment company, IC) asing. Mereka sedang “menaruh pompa” untuk kelak mampu menyedot uang dari konsumen RI. Yang berjiwa nasionalis tentu bersikap bahwa ini harus dikoreksi. Saya yang saat muda aktif di Pramuka dan digembleng dengan nasionalisme termasuk barisan yang bersikap seperti ini.
Makarim sebagai pendiri dan CEO Gojek berada pada kondisi puncak untuk mampu meyakinkan masyarakat negeri ini agar menjadi investor. Jika butuh suntikan dana Rp10 triliun melalui penerbitan saham baru misalnya, Makarim punya cukup kapasitas untuk menggerakkan 1 juta WNI untuk berinvestasi masing-masing Rp 10 juta.
Apalagi kalau pelaksanaannya melibatkan orang seperti Sandiaga Uno yang memang sudah berpengalaman mendirikan dan memimpin perusahaan investasi yaitu Saratoga. Paduan Makarim-Sandi memiliki segala yang dibutuhkan agar saham Gojek dimiliki oleh investor lokal.
Keempat, ibarat permainan bola, selama ini Makarim bertindak sebagai pemain. Kehandalanya pada posisi ini sudah diakui. Tetapi permainan belum selesai. Sebagaimana poin diatas Gojek masih dalam risiko tinggi. Dalam kondisi seperti ini tentu sangat riskan jika Makarim harus meninggalkan posisi sebagai pemain dan beralih menjadi wasit.
Menteri adalah wasit bagi para pelaku bisnis. Mestinya yang menjadi wasit adalah para profsional dibidangnya. Siapa itu? Mereka adalah para politisi full time berintegritas. Orang orang yang sejak muda menekuni karir sebagai politisi seperti para pendiri negeri ini. Beri mereka kesempatan. Jangan patahkan perjuangan mereka dengan menjadikan para pebisnis sebagai pemain cabutan.
Kita harus mendukung orang-orang yang sejak mahasiswa telah mempertaruhkan hidupnya sebagai politisi. Di kalangan muslim ada Fahri Hamzah. Di kalangan kiri ada Budiman Sujatmiko misalnya. Orang-orang seperti ini harus diberi kesempatan.