Kelima, semua orang yang masih punya jiwa nasionalisme di dadanya pasti menginginkan negeri ini unggul dalam percaturan antar bangsa. Hanya saja orang banyak yang tidak faham bahwa ujung tombak persaingan antar bangsa adalah berada di tangan perusahaan-peruahaan negeri itu.
USA datang ke Indonesia melalui McDonalds, Starbucks, KFC, Pizza Hutt, Boeing, Google, Ford, Android, Microsoft, Facebook, Istagram, LinkedIn, Nike, Apple, Sequoia, Citibank, Chevron, Youtube dan sebagainya. Datang melalui perusahaan-perusahaan. Bukan melalui Trump atau para menterinya yang berganti tiap empat tahun sekali itu.
Jepang datang melalui Toyota, Honda, Yamaha, Hitachi, Soft Bank, Jtrust, dan sebagainya. Korea datang melalui Hyundai, KIA, Samsung dan sebagainya. Bukan melalui pemerintah. Bukan melalui politisi.
Ekonomi itu seperti permainan bola. Pemenang bukanlah kesebelasan yang gawangnya tidak dibobol lawan. Pemenang adalah kesebelasan yang membobol gawang lawan lebih banyak dari pada gawangnya dibobol lawan. Kalo USA, Jepang Korea dan sebagainya sudah “membobol” gawang kita, maka semestinya kita harus bekerja keras untuk “membobol balik” melalui perusahaan-perusahaan kita.
Gojek harus hadir di lebih dari 100 negara seperti Facebook atau Google. Saratoga harus hadir di berbagai negara seperti Softbank atau Berkshire Hathawai. Dan itu tentu tidak mudah dikerjakan oleh orang selain Makarim atau Sandi. Dibutuhkan kerja keras full time habis-habisan membesarkan perusahaan lintas bangsa.
Itulah lima poin yang mengarahkan kita pada sebuah kesimpulan: NKRI rugi besar jika Nadiem Makarim menjadi menteri. Seperti sebelumnya kita juga sudah rugi besar ketika Sandiaga Uno meninggalkan Saratoga dan masuk gelanggang politik. Erick Thohir pun demikian.
Mari jaga nasionalisme. Dukung negeri ini untuk menang dalam pertandingan “sepak bola” ekonomi. Ibarat kesebelasan, biarlah back menjadi back. Jangan paksa untuk menjadi stricker. Biarlah penjaga gawang tetap menjadi penjaga gawang, jangan seret untuk menjadi penyerang. Kita akan makin kalah.