Hancurnya Demokrasi
“Democratic Reggression” (Kemunduran demokrasi) dan “Kegagalan konsolidasi demokrasi” yang dibicarakan di atas, baik oleh Aspinal dan kawan-kawan di Australia maupun oleh professor Paige Johnson Tan, Radford University, USA, menunjukkan demokrasi kita setelah dua puluh tahun ini tidak berhasil. Eve Warburton dan Tom Power membantah bahwa ada kecenderungan analisa pada negara gagal (failed state) ataupun “dictatorship” dikalangan cendikiawan barat saat ini.
Namun, kita sebagai cendikiawan lokal haruslah mampu mengatakan yang lebih jujur dan transparan bahwa sesungguhnya demokrasi sudah hancur, serta “failed state” diambang kedatangan.
Hancurnya demokrasi kita yang kurang diamati cendikiawan barat adalah kealfaan mereka menilai bahwa civil society yang selama ini di stigma ke arah kaum fundamentalis kanan, seperti FPI dan HTI, sejatinya juga sebuah kontra demokrasi. Mereka berargumen bahwa FPI seolah-olah selamanya adalah kelompok organisasi intolerant.
Padahal, dari perjalanan pertumbuhan organisasi, FPI sudah berkembang dari kelompok dengan cara-cara kekerasan, fase awalnya, menjadi kelompok penekan dengan menempuh koridor demokrasi. Hal ini diperlihatkan FPI dalam pilkada DKI, khususnya, maupun pemilu/pilpres 2019, di mana FPI masuk dalam kontestasi resmi demokrasi. Sekali lagi FPI menerima cara demokrasi itu.
Persoalan FPI vs Ahok pada 2017, jikalau dianggap cendikiawan barat sebagai bentuk intoleransi berbasis agama, sesungguhnya pengamatan mereka terlalu dangkal, karena tidak melihat bahwa saat itu justru Ahok adalah penguasa alias mewakili negara, sedangkan FPI mewakili masyarakat. Dalam analisa hubungan kekuasaan/power, antara Ahok vs. FPI pastilah posisi dominasi dimenangkan oleh penguasa. Sebagai penguasa saat itu, hampir pada semua teori, memastikan Ahok memimpin di depan dalam hubungan kekuasaan negara vs rakyat.
Begitu juga soal HTI. Pada masa pemerintahan SBY, semua aksi pemerintah yang merugikan organisasi masyarakat, khususnya organisasi tanpa kekerasan, dilakukan melalui jalur hukum yang normal, baik hukum pidana maupun perdata.
Dalam demokrasi masa SBY “prinsip equality before the law”, negara harus menyerahkan keputusan aksinya yang merugikan organisasi masyarakat diputuskan oleh pengadilan. Hal itu sesuai prinsip kebebasan yang dijamin dalam “Universal Declaration of Human rights” artikel ke-7.
Namun, dalam masa Jokowi, pembubaran organisasi HTI dilakukan oleh pemerintah tanpa melalui pengadilan. Bahkan, bersamaan dengan itu orang-orang yang pernah masuk ke organisasi tersebut di stigma sebagai ancaman nasional. Penyebutan “illiberal democracy” merupakan bias intelektual barat yang nyata.
Kegagalan cendikiawan barat lainnya adalah kegagalan melihat pilpres 2019 yang tidak demokratis. Banyak cendikiawan barat hanya melihat keberlangsungan pemilu/pilpres itu hanya melalui besarnya partisipasi pemilih. Berbagai masalah seperti “fairness” yang jauh dari standar normal demokrasi tidak terjadi. Politik uang, politik “gentong babi”, intimidasi, dan berbagai kecenderungan penggunaan kekuasaan dalam memenangkan suara, begitu massif terjadi.
Cendikiawan barat yang saat itu melihat Prabowo lebih berbahaya bagi demokrasi, khususnya karena kalangan Islam mendukung dia, cenderung berpikir, sekali lagi, tidak jernih (bias).