Namun, sekali lagi, cepat atau lambat, semua cendikiawan barat dan jaringannya di Indonesia, akan merubah pandangan politik mereka soal demokrasi, khususnya setelah demonstrasi mahasiwa kemarin ini.
Dalam perpektif “stateness”, seperti analisa professor Paige Jonhson di atas, jika dilakukan analisa lebih dalam pada kegagalan negara dalam “kasus Wamena”, lalainya penanganan kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera serta banyaknya korban dalam demonstrasi mahasiswa baru baru ini, maka pengakuan keberadaan negara tersebut juga tidak signifikan.
Negara, jika merujuk pada Konstitusi Indonesia, bukanlah negara mediocre, melainkan negara yang gagah melindungi rakyatnya. Negara yang dibangun oleh Bung Karno, Bung Hatta dkk adalah untuk memajukan kepentingan umum. Terlebih lagi ketika Paige Johnson pun melihat negara di jalankan oleh kaum elit kapitalis, maka kepentingan pertumbuhan dan keamanan bukanlah untuk kaum lemah, seperti buruh, petani, miskin kota dlsb melainkan tentunya untuk memperkaya kaum elit-elit itu.
Catatan Akhir
Demokrasi kita sebenarnya sudah hancur. Negarapun mengalami kemerosotan kegunaan atau eksistensinya. Hal ini, menurut pengamat barat, meskipun belum hancur, tetap dianggap terburuk sepanjang sejarah paska orde baru.
Hari-hari ini, ketika anggota legislatif baru dilantik, hampir 25 juta nitizen menonton YouTube yang memotret seorang ketua BEM mengatakan “Dewan Pengkhianat Rakyat” untuk DPR RI.
Demokrasi dan undang-undang adalah dua hal yang berkait erat. Jika kepercayaan publik pada pembuat undang-undang, yang sekaligus pengawas pemerintah, yaitu DPR RI, dianggap pengkhianat rakyat dan ancaman bagi demokrasi, maka perjalanan demokrasi kita semakin hancur berantakan.
Bersamaan dengan itu, sikap Jokowi yang mendukung “pelumpuhan KPK” saat ini, sedang ditunggu respon cepat atas perubahan sikapnya. Jika Jokowi terlibat pada persekongkolan sekutunya (The Jakarta Post most viewed: Jokowi’s allies are his biggest problems, not the students) tetap melumpuhkan KPK, maka rakyat memastikan bahwa Jokowi sejatinya tidak masuk pada agenda anti-korupsi. Padahal sikap anti korupsi dan demokrasi merupakan agenda sebangun. .
Paska gerakan mahasiswa belakangan ini, modus dan startegi pelumpuhan lawan-lawan politik melalui stigmatisasi fundamentalis kanan, harus diakhiri dikalangan cendikiawan. Karena, kenyataan permusuhan rezim Jokowi terhadap kebebasan sipil dan gerakan mahasiswa selama ini, sudah cukup jelas bagi kaum cendikiawan menyatakan kebulatan penilaian bahwa demokrasi sudah hancur. Dan kaum cendikiawan harus bersatu bangkit melakukan restorasi demokrasi.
Itulah tugas berat kaum cendikiawan ke depan.
*) Dr. syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Institute, materi disampaikan pada acara diskusi “Quo Vadis Demokrasi dan Penegakan Hukum Indonesia?”, oleh Pergerakan Indonesia Maju di Jakarta