Aspinall dan Ward (2019) dan Noorsy (2019) menguraikan bagaimana sistem demokrasi di Indonesia pasca reformasi ternyata mengukuhkan kekuatan oligarkhi yang ingin mengendalikan negara sepenuhnya. Di tengah himpitan ekonomi yang serba sulit, pragmatisme muncul, kepribadian bangsa melemah, kohesifitas masyarakat rusak, karena kepentingan sekelompok kekuatan ekonomi raksasa. Dimanfaatkannya persaingan ideologi lama pasca tumbangnya Orde Baru menambah kusutnya permasalahan.
Perkembangan media sosial, seperti youtube, twitter, facebook, tiktok, membuka peluang berupa hadirnya buzzer, ataupun influencer yang bisa dimanfaatkan oleh berbagai pihak (Tempo, 2020). Para tokoh yang muncul ke tengah masyarakat ini menjadi viral, karena matangnya fungsi media sosial. Banyak diantaranya yang memiliki pengikut massif, sehingga memiliki pengaruh politik yang luas.
Berbagai platform medsos menyebabkan suara, tulisan, ataupun video mereka diamplifikasi oleh para pendengung (buzzer) yang menyebarkannya secara eksponensial. Medsos bisa menjadi pedang bermata dua; media perubahan untuk mewujudkan keadilan maupun sumber instabilitas jika disusupi dengan konten yang tidak sehat seperti provokasi dan hoax.
Kita perlu belajar dari fenomena protes massal berlatar belakang SARA di Amerika Serikat, demonstrasi berkepanjangan di Hong Kong maupun Thailand, sampai meledaknya Arab Spring di negara-negara Arab yang berujung perang saudara.
Menurut Robinson (2019) Indonesia termasuk negara yang melakukan upaya pencegahan penyebaran hoax dan disinformasi melalui pembentukan Lembaga pengawas cyber baru sejak 2018. Namun di sisi lain, penelitian oleh Bradshaw dan Howard (2019) menyimpulkan bahwa beberapa negara termasuk Indonesia memanfaatkan jasa para buzzer dan influencer untuk membela pemerintah dari berbagai kritik dan serangan di media sosial, yang menjadi medan pertempuran politik baru pasca era keemasan jejak pendapat publik untuk mengukur dan memengaruhi kecenderungan politik.
Sementara jurang masih menganga di bidang pemerataan kesejahteraan yang ditunjukkan oleh gini ratio yang masih berkisar 0,39 (2018), para politisi kita cenderung fokus pada isu ideologi/sosial/budaya/agama.
Menurut Muhtadi dan Warburton (2020), kesejangan ekonomi yang sangat tinggi dua dekade tarakhir menyebabkan akses ekonomi dan politik hampir sepenuhnya dikuasai oleh kaum oligarkhi, dan hanya menyisakan sedikit kepada masyarakat. Pada kondisi ini rakyat kecil juga menjadi permisif dengan praktik-praktik politik yang bersifat koruptif, misalnya politik uang.