Sayangnya Indonesia termasuk soft country yang cenderung tidak keras terhadap dirinya sendiri dalam memperjuangkan visi negaranya. Sebagai sebuah negara besar, baik secara kewilayahan maupun jumlah penduduk, kekuatan bisnis Indonesia cenderung inward looking dan kurang mengeksplorasi peluang dan potensi di kawasan regional maupun internasional.
Negara kita cenderung hanya dijadikan pasar bagi produk-produk dan persaingan negara-negara besar yang berebut pengaruh, misalnya melalui visi OBOR-nya Tiongkok atau war on terror-nya Amerika Serikat.
Dalam persaingan antar-bangsa terkini muncul perang generasi kelima dan keenam yang menyasar pemikiran manusia. Penggunaan peralatan non-militer untuk melemahkan negara lain ini misalnya melalui adu domba opini masyarakat, game online destruktif, penyebaran narkoba, dan perilaku negatif lainnya yang menggerogoti kepribadian sebuah bangsa.
Kasus terkini berupa pandemi Covid-19 berdampak bukan hanya pada kesehatan publik, namun juga perekonomian, sosial, dan bahkan politik di banyak negara di dunia.
Negara kuat yang ingin menguasai kekayaan alam negara lain bisa memicu “kekacauan”, sehingga negara yang tidak siap akan hancur atau terkuasai SDA dan SDM-nya, sebuah penajajahan model baru.
Di negara monarkhi konstitusional, selain perdana menteri terdapat raja/sultan yang berfungsi menjaga kestabilan negara. Untuk mencegah konflik politik yang mengarah destruktif, ideologi negara perlu dimaknai sebagai alat pemersatu, dan bukan dijadikan alat pemukul kepada pihak lain yang berseberangan.
Diperlukan penguatan dasar negara Pancasila dalam kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya, serta pertahanan keamanan, bukan dengan penafsiran baru yang keluar konteks kesepakatan para founding fathers, seperti adanya RUU HIP yang membuat gaduh.