WARGASERUJI – Professor Ben Anderson dalam pengantar bukunya Spectra mengatakan keterkejutan yang dalam mendengar pidato pendiri Pancasila, Bung Karno, tahun 1961 di UI. Saat itu, dia membawa diplomat baru Amerika yang bertugas di Jakarta. Terkejut karena dalam pidatonya Bung Karno menyatakan kekagumannya pada Hitler. Menurut Bung Karno, Hitler adalah pemimpin besar dunia anti imperialisme barat.
Ben dan diplomat baru tersebut tidak habis-habisnya terkejut. Bagaimana bisa pemimpin bangsa sebesar Indonesia mengangumi sosok pembunuh 2 juta orang Yahudi di kamar-kamar gas beracun dan musuh dunia, khususnya barat yang dianggap paling beradab.
Apa yang dipikirkan Ben dan diplomat itu banyak menjadi pertanyaan dalam pikiran lainnya, mengapa Bung Karno memimpin pengerahan pekerja/buruh/koeli untuk membangun jalan-jalan rel kereta api (Romusha) di bawah komando pemerintahan Jepang? Mengapa Bung Karno bersekutu dengan penjajah Jepang?
Rachmawati ketika saya tanyakan itu secara sederhana menjawab, bahwa itulah yang bisa dilakukan bapaknya untuk bersiasat demi memerdekakan Indonesia. Bersekutu dengan Jepang untuk mengusir Belanda. Meski saya percaya pada Rachmawati, namun orang-orang yang percaya Tan Malaka, Muso dan Kartosuwiryo tentu tetap tidak percaya pada Bung Karno.
Tan Malaka yang legendaris ikut membangun Partai Komunis China (PKC) dan menjadi pembicara dalam pertemuan Komunis Internasional di Rusia, merasa Bung Karno tidak sepenuhnya berjuang melawan Belanda. Tema-tema anti kapitalisme Bung Karno, menurut Tan, hanyalah kamuflase agar tidak berbenturan langsung dengan Belanda. Begitu juga soal kolaborasi dengan Jepang, yang merugikan rakyat.
Kartosuwiryo sendiri mengecam Bung Karno yang terlalu banyak berunding dengan Belanda dan Sekutu. Meninggalkan ibukota dan menjadikan Republik Indonesia mengecil dengan pusatnya di Yogyakarta. Untuk melawan Belanda, Kartosuwiryo mendeklarasikan Negara Islam Indonesia (NII).
Ketika Pancasila di bahas dalam persiapan-persiapan kemerdekaan kita dan dalam sidang-sidang Konstituante 1955-1959, alam pikiran bangsa kita disimbolkan pada pikiran Bung Karno, Muso, Tan Malaka, Kartosuwiryo dlsb yang ekstrem. ‘Anak-anak mami’ seperti aktivis-aktivis Boedi Utomo yang justru dilukiskan heroik dalam Sumpah Pemuda, hanyalah kelompok-kelompok pelengkap sejarah bangsa kita.
Kalau kita membayangkan tulisan bung Karno tentang ‘Islamisme, Marxisme dan Nasionalisme”, tahun 1926, yang menegaskan bahwa Islamisme meskipun bersifat internasional, begitupun Komunisme bersifat international, dapat menjadi lokal dan bersemi dalam semangat yang sama. Serta membayangkan pengamatan Ben Anderson atas kekaguman Bung Karno terhadap Hitler 35 tahun kemudian, maka bisa kita selami siapa dan bagaimana isi kepala dan jiwa Bung Karno itu. Artinya, seorang pemimpin bangsa itu memang mempunyai spektrum multi dimensi dalam menghimpun beragamnya pikiran-pikiran yang berkembang dalam masyarakat.
Kebencian peradaban ini terhadap Hitler, yang tega memanggang jutaan manusia dalam kamar gas, tidak mungkin lebih tinggi terhadap kebencian pada Komunisme (yang menyebabkan jutaan orang tewas karena busung lapar di masa revolusi Mao), terhadap Hizbut Tahrir yang tidak pernah berkuasa di manapun, dan terhadap berbagai kelompok ideologis lainnya. Lalu bagaimana kamu memikirkan bapak bangsamu Bung Karno, yang mengagumi Hitler?
Saat ini kita diterpa semangat saling mengalahkan antara tuduhan Komunisme versus ISIS di Indonesia.
Selama 32 Tahun orde baru berkuasa memang merancang jargon “Pembangunan Yes, Politik No!”. Dalam masa 32 tahun itu kesadaran politik rakyat disterilkan. Rakyat hanya boleh ikut organisasi pemuda ala Pemuda Pancasila, atau pengajian “surga-neraka”. Mahasiswa di doktriner Pancasila versi P4. Semua ini demi, khususnya, membangun imperium keluarga Cendana dan 300 Taipan Konglomerat, disamping tentu ada pembangunan infrastruktur dan sosial, dengan biaya mahal.
Dengan kesadaran politik dan literasi politik yang rendah, bangsa ini tentu tidak pernah faham tentang Pancasila yang dipikirkan founding fathers. Sesungguhnya sejak tahun 1959, belum ada pembahasan lagi soal Pancasila.
Maka, ketika benturan saling menjatuhkan antara Pancasila vs bukan Pancasila, sesungguhnya hanya benturan “keledai vs keledai dungu” saja.
Bagaimana doktor ilmu politik, yang puluhan tahun, misalnya, mendalami ilmu-ilmu impor barat di kampus, dengan rujukan John Lock, Hobbes, Weber, Marx, Adam Smith, David Ricardo, Karl Popper, Foucault, Derrida, Einstein dll menjadi rujukan “ahli Pancasila”? Bukankah rujukan ilmu standar barat merujuk pada nilai-nilai dan etik barat?
Bagaimana kita menilai tanpa standar menilai? Inilah pokok masalah bangsa kita. Apakah ini akan terus berlangsung? sampai kapan? Semua akan berhenti jika pembahasan Pancasila diulang kembali merujuk pada pandangan-pandangan pendiri bangsa kita, yang terhenti sejak 1959.