Tindak kekerasan di Wamena, Papua, menimbulkan puluhan korban meninggal dan ratusan luka serta rumah dan fasilitas umum hancur. Kekerasan tersebut terakumulasi dari protes sosial yang berujung pada separatisme.
Duka dan kematian yang menelan korban para pendatang seperti dari suku Minang dan Bugis dan suku-suku lainnya yang hidup di Papua menyayat hati. Negara absen dalam duka itu.
Ada ratusan ribu pendatang yang hidup di tanah Papua, sebagaimana juga orang Papua hidup di wilayah lain dalam negara Indonesia. Semua warga negara hidup rukun dan tidak separatis, saling kasih sayang karena kita berada dalam naungan NKRI.
Tindakan separatis dalam bentuk apapun tidak dibenarkan dalam negara Indonesia. Pemerintah wajib hadir dan membela setiap warga negara yang memperoleh perlakuan rasis itu. Sebab, negara menjamin setiap orang untuk hidup menurut agama, keyakinan dan kulturnya masing-masing dan, tidak boleh diperlakukan secara diskriminatif dengan alasan apapun.
Setiap daerah yang terintegrasi dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) wajib menjaga kesatuan dan persatuan bangsa. Inilah komitmen kita bernegara, semenjak Papua menyatakan diri bergabung dalam NKRI tahun 1969 melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).
Namun apa yang terjadi di Wamena, Papua, bukan lagi tindakan biasa ini sudah menjadi kejahatan luar biasa, pembantaian etnis (genosida), bagi para pendatang di daerah itu. Perasaan “kebencian” orang Papua terhadap pendatang sudah tidak dibenarkan lagi menurut hukum Indonesia dan Hukum Internasional.
Kelompok separatis yang diprovokasi oleh Benny Wenda sangat beringas, mencabik-cabik perasaan kemanusiaan kita dan menghancurkan keharmonisan bernegara kita. Sementara negara diam tanpa sikap apapun terhadap kejahatan kemanusiaan itu.
Meskipun kita tetap mengakui, banyak masalah yang belum bisa diatasi oleh pemerintah dalam rangka untuk pemerataan pembangunan, namun kita tidak bisa membenarkan dengan alasan yang sama pembunuhan terhadap sesama warga negara.
Kalau masalah kesenjangan menurut saya, Orang Papua harus menuntut kepada pemerintah, bukan membantai sesama warga negara. Dengan alasan apapun juga pembantaian itu adalah kejahatan terhadap kemanusiaan.
Jalan Pemerintah
Situasi kemanusiaan yang memburuk itu, tidak bisa diselesaikan dengan kata “harap tenang” atau “pace, mace, sabar”. Butuh langkah konkrit untuk mengatasi ini.
Pemerintah Jokowi harus berkaca pada sejarah, bagaimana cara menyelesaikan konflik daerah seperti di papua itu. Misalnya ketika Perdana Menteri Mohammad Natsir menyelesaikan masalah tuntutan rakyat Aceh.
Kejadian pada tanggal 22 Desember 1950, hasil dari kongres PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) dan mosi DPRD Aceh yang meminta untuk di menjadi provinsi sendiri, bukan lagi bagian dari Provinsi Sumatra Utara.
Natsir sebagai perdana menteri dan KH Masjkur beserta rombongan, mengunjungi Kutaraja (Banda Aceh) pada tanggal 22 hingga 23 Januari 1951, Untuk berdialog dengan Gubernur Aceh Tengku Daud Beureueh, Ulama PUSA dan anggota DPRD Aceh serta rakyat Aceh.