Dalam dialog yang berujung kebuntuan atau dek lock, karena Aceh tetap pada pendiriannya yaitu tetap provinsi sendiri yang terpisah dari Sumatra Utara. Dalam kebuntuan tersebut, Akhirnya Natsir menyampaikan kepada Tengku Daud Beureueh, besok saya balik ke Jakarta dan segera menghadap Paduka Yang Mulia Presiden Soekarno, untuk mengembalikan mandat sebagai perdana menteri, karena telah gagal untuk mencapai kesepakatan antara pemerintah pusat dengan saudara-saudaraku di Aceh.
Daud Beureuh heran dengan pernyatan Natsir tersebut dan menanyakan alasan kenapa dia mengembalikan mandat kepada presiden. Natsir menjelaskan, karena saya gagal mencapai kesepakatan antara pemerintah pusat dan saudara-saudara di Aceh. Sebab, kalau Aceh berkeras dan pemerintah pusat juga bersikeras, maka pemerintah pusat akan mengambil tindakan tegas, termasuk mengirim pasukan tentara apabila Aceh tetap dengan pendiriannya.
“Saya tidak mau menyaksikan peristiwa “perang saudara” tersebut karena Aceh telah memberikan sumbangan yang sangat besar dalam mendukung proklamasi dan mempertahankan negara proklamasi, dan saya tidak ingin itu terjadi saat saya menjabat perdana menteri,” kata Natsir.
Mendengar ucapan itu Tengku Daud Beureueh, terdiam dan tertekun sejanak, setelah dengan tarikan nafas panjang, dia meminta kepada Natsir untuk menunda kepulangannya beberapa hari, karena Daud besok akan segera mengumpulkan ulama Pusa dan DPRD untuk membicarakan permasahan ini.
Setelah diadakan pertemuan Tengku Daud Beureueh, Ulama Pusa dan DPRD, akhirnya Aceh menerima jalan kompromi yang ditawarkan pemerintah pusat, yaitu setuju pembentukan provinsi sendiri yang terpisah dengan Sumatra Uatara, melalui mekanisme dan prosedur yang ada, karena pemerintah masih terikat dengan perjanjian antara RIS dan RI, Ini hanya bisa diubah dengan UU, maka memerlukan waktu.
Apa yang dilakukan oleh M. Natsir dalam menangani persoalan Aceh ini dapat menjadi pelajaran bagi pemerintah Jokowi sekarang ini. Natsir siap meletakkan jabatannya sebagai perdana menteri kalau gagal mendamaikan Aceh. Kepribadian seperti itu harus tertanam dalam diri pemerintah sekarang.
Apa yang dilakukan Perdana Menteri Natsir dengan turun langsung memperudingkan masalah Aceh adalah merupakan sikap pemimpin yang mau menyelesaikan konflik, bukan seperti sekarang ini, setengah hati menangani masalah Papua.
Penanganan konflik lokal tidak bisa di serahkan kepada pemerintah daerah. Apalagi kelompok separatis tidak lagi berkompromi dengan pemerintah dan mereka ingin keluar dari NKRI dengan alasan membentuk negara sendiri (merdeka). Artinya, tidak ada pintu untuk dialog lagi, seyogyanya untuk melindungi warga negara pendatang di daerah itu pemerintah harus mengerahkan kekuatan militer.
Konflik Papua sudah melewati komunikasi yang panjang, namun pemerintah pusat tidak serius melakukan perubahan-perubahan, hingga akhirnya pintu dialog antara Papua dan Jakarta tertutup. Kemarahan orang Papua itu bukan lagi kemarahan vertikal (pemerintah pusat), melainkan sudah menjadi kekejaman rasial (horizontal) antara orang Papua asli dengan pendatang atau dengan kata lain “perang” antar warga negara.
Sudah 32 orang meninggal dari suku bugis dan minang menjadi korban pembantaian etnis. Sementara negara masih sibuk mengurus demonstrasi mahasiswa. Pemerintah hanya sibuk urus kekuasaannya, sementara persatuan dan kemanusiaan yang mengancam NKRI tutup oleh kabut asap ban dan gas air mata untuk mempertahankan kekuasaan.
Negara Alpa
Rakyat Indonesia meminta pertanggungjawaban pemerintah atas keamanan mereka dalam negara. Kenapa pemerintah tidak hadir? Apakah pemerintah tidak melihat pembantaian itu?
Pemerintah terlalu sibuk untuk mengurus kursi kekuasaan. TNI sebagai kekuatan penjaga NKRI Ikut sibuk pula dalam mengawal kursi kekuasaan itu dengan mengancam siapa saja yang ingin menggagalkan pelantikan presiden. Siapa yang ingin menggagalkan pelantikan Presiden?
Sementara persoalan yang mengancam kedaulatan bangsa dan membuat tercabik-cabiknya NKRI, TNI tidak memiliki sikap apapun, sehingga kita patut bertanya, kepada siapa kita meminta pengamanan?