Ketua KPU Arif Budiman terjangkit Covid 19. Komisioner Pramono Tanthowi juga terjangkit. Beberapa komisioner di daerah terjangkit. Beberapa calon juga terjangkit. Pemerintah bergeming.
Komentar pedas dan nyinyir pun bermunculan. Covid 19 bisa membatalkan jadwal umrah dan haji. Shalat Jumat ditiadakan, shalat jamaah di masjid dilarang, idul fitri dan idul adha dibatasi, tapi pilkada jalan terus.
Presiden Jokowi menegaskan supaya pertimbangan kesehatan diutamakan ketimbang urusan ekonomi. Tapi rupanya urusan politik pilkada mengalahkan urusan ekonomi dan kesehatan.
Ketika ekonomi berada dalam kondisi resesi seperti sekarang berbagai cara untuk menggerakkan roda ekonomi harus terus dicari secara kreatif.
Mungkin pilkada serentak ini dianggap sebagai peluang untuk menggerakkan roda ekonomi karena banyaknya uang gelap dan terang yang beredar.
Uang terang beredar untuk belanja alat kampanye mulai dari spanduk, baliho, dan alat peraga lainnya, termasuk “pengaosan”, bagi-bagi kaos, dan “penerbangan”, bagi-bagi terbang untuk ibu-ibu hadrah.
Uang gelap atau setengah gelap beredar untuk mahar parpol dan dibagi-bagi untuk vote buying pada serangan fajar.
Politik klientalisme yang melibatkan dinasti anak dan menantu adalah praktik yang dianggap lumrah. Politik bagi-bagi uang juga menjadi praktik yang jalan terus.
Pilkada dan keluarga ibarat Pil KB dalam keluarga. Pil KB bisa menunda anak, tapi Pilkada tidak bisa ditunda karena anak.
Di tengah kontroversi ini Presiden Jokowi, rupanya, menghendaki win-win solution; Di Solo win (menang) dan di Medan juga win. Alamak.. (*)