Kita yang ada sekarang diamanahi untuk mengurus, bukan untuk mengurasnya buat kepentingan pribadi atau kelompok, dan menyerahkan pengurusannya kepada orang-orang yang bukan atas dasar keahliannya (profesional), tetapi atas dasar pertimbangan kepentingan politik, perkawanan primordialistik, suka atau tidak suka.
Perilaku seperti itu disebut dalam ayat dan hadis di atas sebagai prilaku kufur kepada nikmat Allah. Orang kufur layak mendapat azab, dan bila yang kufur itu adalah pemimpin, maka hukuman kepadanya akan menimpa rakyat yang dipimpinnya juga.
Bila kita mau jujur, perilaku seperti itu sudah lama dipraktekkan di negeri ini, sehingga menimbulkan gelombang korupsi, kolusi, nepotism yang sudah melampaui logika akal sehat.
Hal-hal seperti inilah yang menjadi tuntutan lahirnya reformasi 22 tahun yang lalu itu, tetapi hal itu pula kini yang semakin menggejala di era reformasi, sehingga tidak sedikit rakyat yang mulai dihinggapi rasa putus asa menatap masa depannya, walau mereka sadar bahwa putus asa itu juga bagian dari kekufuran.
Tapi, apakah bentuk pengkhianatan yang lebih besar dan menjadi penyebab terjadinya pengkhianatan-pengkhianatan berikutnya atau yang menjadi substansi masalah di negeri ini?
Menurut saya, pengkhianatan kepada Pancasila yang sudah berlangsung sejak era Orde Lama (Orde Lama) dulu adalah induk dari semua pengkhianatan itu. Pancasila seakan dijadikan mainan dan olok-olok, sehingga diputar-putar menurut selera dan kepentingan kita sendiri-sendiri
Oleh sebab itu, bila bangsa dan negara ini benar-benar mau kembali baik, hentikan menarik-narik Pancasila untuk pembenar apa yang ingin kita lakukan. Biarkanlah Pancasila seperti apa adanya yang disepakati dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dan bangunlah negara ini dengan roh yang ada dalam apa yang disebut sebagai “Kearifan Nusantara”.
Semoga semangat Sumpah Pemuda tetap menyemangati nurati kita merawat dan mempertahankan NKRI.
Pekanbaru, 28 Oktober 2020.