Setelah Rocky Gerung menuduh Jokowi tidak faham Pancasila, situasi dan perdebatan terkait isu ini memanas. Tuduhan Rocky terhadap Jokowi dihubungkan antara kebijakan atau prilaku Jokowi dengan sila-sila yang ada. Misalnya, Rocky mengatakan bahwa arahan Jokowi kepada pemerintahan daerah agar tidak meminta Amdal (analisa mengenai dampak lingkungan) merupakan anti sila kelima (Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia).
Menaikkan iuran BPJS juga menurut Rocky bertentangan dengan Pancasila. Sedangkan membubarkan sebuah ormas tanpa pengadilan juga bertentangan dengan sila keempat (Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawartan dan Perwakilan).
Kita perlu mendiskusikan ini agar kita dapat mendudukkan urgensi isu ini dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setelah presiden Indonesia boleh tidak berdarah Indonesia, paska amandemen UUD45 asli selama 1999-2002, isu presiden tidak faham Pancasila menjadi penting kita sepakati. Artinya, jika benar Presiden RI tidak faham Pancasila, apakah itu sebuah kesalahan? atau kejahatan? Bagaimana kalau anak-anak sekolah jadi alergi terhadap Pancasila?
Pancasila: philosophische grondslag versus Ideologi
Adnan Buyung Nasution, dalam “The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia”, 1992, berbasis disertasinya di Universitas Utrecht, Belanda, menjelaskan bahwa ada tiga kelompok ideologis yang bertarung debat dalam Konstituante (lembaga pembentuk UUD) sepanjang tahun 1955-1957, yakni kelompok Pancasila, Kelompok Islam dan Kelompok Sosial-Ekonomi.
Kelompok pertama diwakili antara lain oleh PNI (Partai Nasionalis Indonesia) dan PKI (Partai Komunis Indonesia), kelompok kedua diwakili antara lain Masyumi dan Nahdatul Ulama. Sedang kelompok ketiga diwakili antara lain Partai Murba dan Partai Buruh. Jumlah peserta masing-masing 274 orang, 230 orang dan sisanya 10.
“Philosophische Grondslag” (Filosofi dasar) atau dalam bahasa Jerman “Weltanschauung” (view to the world atau pandangan dunia) adalah penjelasan tentang sebuah alasan atas sebuah eksistensi. Pancasila disebutkan filosofis dasar, kala dulu, karena menjelaskan alasan adanya sebuah dasar negara baru, yakni negara Indonesia.
Dasar itu sendiri bervariasi dari pandangan ekstrim yang menyamakan seperti “fondasi rumah” oleh berbagai perumus Konstituante maupun sekedar pegangan hidup biasa, tanpa retorika, seperti yang dipikirkan Sutan Takdir Alisyahbana, anggota PSI.
Pancasila dikatakan sebagai “living spirit” dari Bangsa Indonesia. Living spirit ini adalah sebuah konsensus atau sebuah “common platform” yang mampu menghimpun sebuah kebersamaan atau sebuah himpunan kebangsaan. Sebuah ajaran harmoni, ajaran toleransi, gotong royong, dlsb.
Namun, sering pula Pancasila dimaknai sebagai ideologi negara. Idiologi bukan sekedar filosofi dasar ataupun “living spirit”, melainkan sebuah ajaran baku yang menggerakkan bangsa kita. Yang pertama lebih statis, sebaliknya yang terakhir lebih dinamis.
Dalam pertarungan di Majelis Konstituante, disebutkan pertarungan ideologi, karena dasar negara yang dibicarakan memang mencakup konsepsi ideologi negara. Sebab, dulu pada sidang-sidang BPUPKI, semua dianggap tergesa-gesa, atau sekedar “kejar tayang”, melihat peluang kemerdekaan yang diarahkan Kolonial Jepang. Sehingga, di alam kemerdekaan, dalam waktu yang panjang, dikhususkan sebuah waktu pembahasan untuk mengetahui dasar negara kita.
Pancasila bergeser sebagai ideologi, menurut Buyung Nasution, dimulai ketika Sukarno berpidato di Amuntai, Kalimantan, 1953, tentang Pancasila vs Islam. Sukarno, yang sebelumnya melihat Pancasila sebagai konsensus/filosofi dasar untuk mengakomodasi berbagai ideologi dan faham yang berkembang di Indonesia, mulai mengkristalkan Pancasila sebagai sebuah ajaran khusus.
Sukarno kelihatannya pada tahun-tahun 50 an telah meninggalkan faham integralistik facism bergeser ke arah sosialistik. Pertama, ini bisa dilihat dengan persekutuan PNI dan PKI yang kokoh, khususnya dalam Majelis Konstituante. Kedua, kebangkitan Komunis dunia saat itu, sudah menggeser kelompok-kelompok fasis (Jepang, Jerman dan Italia) sebagai anti tesa kejayaan Kapitalis yang dimusuhi Sukarno. (Sukarno selama penjajahan Jepang di Indonesia adalah “kaki tangan” Jepang).
Sebuah ideologi adalah sebuah ajaran yang bisa menggerakkan. Sukarno telah meninggalkan Pancasila dari “filosofi dasar” (yang dalam istilah Jean Paul Sartre sebagai “major system of thought“), kepada ideologi, (Sartre: “minor system of ideas living on the margin of the genuine philosophy and exploiting the domain of greater system”).
Agar Pancasila bisa menjadi ideologi, Sukarno meintegrasikan Komunisme sebagai kekuatan inti dan pandangan-pandangan anti Islam sebagai penguat, pada ajaran Sosialisme Sukarno tersebut.
Melalui Komunisme, Sukarno mampu menemukan kembali semangat perlawanan dan ambisinya untuk menantang Kapitalisme global. Komunisme mengajarkan bagaimana menemukan “false consciousness” untuk merekonstruksi eksistensi “kaum Marhaen” sebagai sebuah “Class Consciousness”.
Setelah 15 tahun Pancasila dengan inti Komunisme dijalankan Sukarno, dan berakhir lumpuh tahun 1968, ketika era Bung Karno berakhir. Selanjutnya, Pancasila kembali bergeser dari ideologi menjadi “philosophische Grondslag” atau “Weltanschauung” di masa Orde Baru.
Pancasila ditangan Jokowi
Penjelasan Rocky bahwa Jokowi tidak faham Pancasila mungkin terlalu prematur. Setelah Komunisme gagal diseluruh dunia, Sosialisme, Pragmatism, Kapitalisme masih ada sebagai ideologi. Tentu disamping agama-agama yang bergerak dalam ajaran ideologis.
Pandangan Jokowi terkait menaikkan iuran BPJS dan melarang AMDAL, yang dituduh Rocky sebagai bukti Jokowi tidak faham Pancasila, merupakan “misleading”. 1) Menaikkan iuran BPJS adalah ajaran “survival for the fittes” yang meletakkan tanggung jawab individual itu berpusat pada individual. Pandangan tokoh politik Margaret Thatcher di Inggris dulu, mewakili kaum Libertarian, menolak sama sekali adanya tanggung jawab negara terhadap subsidi bagi orang-orang miskin. Berpikir pro subsidi adalah sosialis dan sebaliknya memperkecil subsidi anti sosialis (Neo-Liberal/Libertarian).
2) AMDAL dalam perspektif kaum Libertarian dan para kapitalis adalah bagian aturan yang membuat negara “mengganggu” kepentingan pasar (market place). Orang-orang seperti Fredrick Hayek dan Milton Friedman, meyakin negara sebaiknya tidak perlu ada.
Dari dua hal di atas, kita melihat bahwa Jokowi menganut suatu pemahaman. Menganut suatu pemahaman tidaklah mungkin dikatakan Jokowi tidak faham Pancasila. Jika dikaitkan pada pola penyerangan rezim Jokowi pada Islamisme, seperti dilakukan Sukarno dulu, maka sudah dapat dicermati bahwa Jokowi sedang menggeser lagi Pancasila dari filosofi dasar menjadi ideologi.
Jikalau ideologi yang ditanamkan Sukarno pada Pancasila dahulu, sebagai inti daripada inti, adalah Komunisme, maka Jokowi saat ini mungkin mencoba menggerakkannya dengan ideologi Kapitalisme. Namun, bisa saja ideologi itu berupa Pragmatism?
Sebuah Pragmatism adalah campur-campur dengan orientasi jalan tengah, seperti Third Way di Inggris, maupun ideologi Komunis ala Deng Xio Ping di China dahulu (Quote Deng: Tidak peduli kucing hitam ataupun putih yang penting bisa tangkap tikus).
Untuk itu perlu waktu yang dalam untuk menilai ideologi yang dibawa Jokowi ini.
Namun, Pancasila sebagai sebuah Konsensus maupun ideologi, memang merupakan produk sejarah. Jika Pancasila itu digali dari spirit masa lalu kita, maka semua bentuk masa lalu kita bervariasi, dari wisdom yang baik, sampai kepada ajaran-ajarab keji ala Machiavellis dalam kekuasaan.
Penutup
Sejarah manusia dibentuk dengan berbagai kontestasi dan klaim antara kelompok-kelompok dominan dalam masyarakat.
Pada saat tertentu, konsensus dilakukan jika keseimbangan sosial tertentu dianggap lebih baik dalam menghindari perang dan permusuhan. Namun, pada saat tertentu ketika pemimpin yang hadir mempunyai ambisi ideologis, maka konsensus tersebut berubah menjadi perang atau permusuhan untuk memastikan adanya dominasi.
Jokowi bukanlah seperti kata Rocky yang tidak faham Pancasila, malah Jokowi sedang menggeser Pancasila dari sebuah Waltanchung atau Philosophische Grondslag ke arah ideologi. Apakah ideologi itu Kapitalisme dan variannya atau Pragmatism, masih perlu diamati.
Namun, sebagaimana sejarah mengajarkan, bahwa Islam tidak dapat ditaklukkan di Indonesia. Dan bahaya untuk disingkirkan, “Too Big To Fail”. Baik dengan bantuan RRC di masa Bung Karno, maupun dibantu Amerika/barat di masa Suharto.
Yang penting selalu kita renungkan apakah ada jalan tengah Pancasia: Diantara “common platform” dan ideologi?