KATARSIS.ID – Menjelang peringatan 75th hari kemerdekaan RI ini patut kita mencermati apakah kita sungguh-sungguh merdeka. Saat sebelum Pandemi Covid19 ini menghentikan ekonomi global dan nasional, Mendikbud Nadiem Makarim sudah meluncurkan program Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka. Kedua program ini saja menunjukkan bahwa kita belum merdeka.
Misi pendidikan sesungguhnya memang cuma satu: menyediakan syarat budaya untuk hidup merdeka. Tapi bukan itu yang menjadi misi pendidikan nasional selama 50 tahun terakhir ini.
Dunia pendidikan sudah lama tidak merdeka dan karenanya tidak memerdekakan. Dunia pendidikan sudah lama dimonopoli secara radikal, demikian kata Ivan Illich, oleh persekolahan paksa massal sebagai instrumen teknokratik untuk menyediakan buruh trampil yang cukup cerdas untuk menjalankan mesin-mesin tapi sekaligus cukup dungu untuk khusyu’ bekerja bagi kepentingan investor.
Wajib Belajar dikerdilkan menjadi Wajib Sekolah. Sedikit pencermatan akan menunjukkan bahwa persekolahan paksa massal tidak pernah dimaksudkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, apalagi untuk membangun jiwa merdeka yang dibutuhkan untuk hidup merdeka.
Jiwa terjajah itu memang dikehendaki oleh para investor, terutama investor asing. Investor asing dalam arsitektur kelembagaan ekonomi ribawi sejak Orde Baru adalah kekuatan nekolimik yang menjarah sumberdaya alam sekaligus memperbudak bangsa ini. Tidak kurang tidak lebih.
Jiwa merdeka adalah kompetensi yang tidak dikehendaki oleh Pemerintah apalagi investor. Kemerdekaan meningkatkan ketidakpastian yang mengancam investasi.