Pada saat revisi Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) disahkan oleh DPR hari ini, Selasa (17/9/2019), setelah melalui proses yang cacat prosedur dan cacat etika, kita segera menyaksikan bahwa masa depan Republik ini berada diujung tanduk. KPK dengan platform barunya ini praktis menjadi instrumen power play penguasa.
Pada saat oposisi di parlemen tidak efektif, anggotanya tidak aspiratif, dan tersandera banyak kasus, elit polisi dan tentara terbeli, kebebasan berekspresi diberangus, dan kampus ter-scopus, maka Republik ini lambat tapi pasti meluncur jatuh menjadi police state di mana berlaku rule by law, bukan rule of law.
Hemat saya, yang bisa menyelamatkan Republik ini tinggal satu: minoritas kreatif dalam masyarakat sipil dan birokrasi serta tentara.
Kreatifitas yang menjadi daya kekuatan perlawanan oleh masyarakat sipil telah dilumpuhkan oleh persekolahan paksa massal yang secara terstruktur, sistematik dan masif men-dungu-kan masyarakat. Kreatifitas birokrasi, polisi dan tentara telah dilumpuhkan oleh kehidupan pas-pasan berkepanjangan yang menyuburkan budaya korupsi.
Birokrasi dan polisi mudah diperalat menjadi kaki tangan pemerintah, bukan abdi negara yang hanya setia pada konstitusi. Akibatnya birokrasi mudah diintimidasi untuk kepentingan politik jangka pendek. Profesionalitas dan inovasi pelayanan publik hilang dalam suasana kerja yang politicking, tidak meritokratik, sing jujur ajur.
Pembangunan infrastruktur tidak menghasilkan pelayanan prima yang value for money, tapi malah dikorupsi menjadi value for monkey saja.
Jika al Faraby mengatakan bahwa nasib sebuah bangsa lebih ditentukan oleh rakyatnya, bukan pemimpinnya, maka melihat kelumpuhan national leadership ini, masa depan Republik ini hanya bisa mengandalkan followership.
Saat kepemimpinan nasional gagal meneladankan sikap etis dengan standard tertinggi, maka harus ada minoritas kreatif yang berani maju menegur dan mengambil alih sambil mengatakan “enough is enough!”.
Gunung Anyar, 17/9/2019