Upaya mengurangi dampak negatif persekolahan paksa massal itu sudah dilakukan oleh Muhammadiyah melalui persekolahannya yang dikembangkan dengan kurikulum sendiri. Namun harus dikatakan bahwa upaya Muhammadiyah itu semakin tidak efektif karena makin terjerumus dalam perangkap persekolahan paksa massal.
Jika sebelum Orde Baru, Muhammadiyah melahirkan banyak pengusaha dan saudagar, justru setelah Orde Baru, persekolahan Muhammadiyah justru semakin kurang melahirkan klas enterpreneur ini. Pendekatannya semakin “sekolahan” dengan obsesi mutu yang berlebihan. Akibatnya, persekolahan Muhammadiyah menjadi semakin outside-in melalui penyeragaman massal. Padahal, pendidikan yang memerdekakan harus lebih mengutamakan relevansi, lebih inside-out agar lebih bermakna.
Undang Undang Pesantren yang lahir baru-baru ini akan juga menyekolahkan pesantren di bawah jargon mutu, akreditasi dan sertifikasi. Dugaan keras saya, UU Pesantren ini akan justru menghilangkan kemandirian pesantren.
Seperti sekolah-sekolah Muhammadiyah, pesantren-pesantren NU akan menjadi instrumen teknokratik penyiapan tenaga kerja trampil untuk kepentingan investor yang oleh RUU Omnibus Law akan memperoleh karpet merah untuk menginvasi seluruh pelosok tanah air Republik ini.
Saya tidak tahu persis apa yang dibayangkan oleh Mendikbud. Tapi Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka mensyaratkan pemerdekaan Sistem Pendidikan Nasional dari monopoli radikal persekolahan. Sesuai washiyat Ki Hadjar, tugas-tugas pendidikan harus lebih banyak diemban oleh keluarga dan masyarakat.
Persekolahan harus bersifat melengkapi dan menambahi saja. Tidak seperti sekarang ini : makin banyak dan lama sekolah, pendidikan justru makin langka, kedunguan makin luas. Seperti yang disinyalir Gus Baha, pengajian umum makin marak, tapi kajian kitab makin langka.
Malang, 16/8/2020