Kanal

Pro-Kontra

Populer

Kirim Tulisan

Istana “Menampar” Menteri ESDM Lewat Penolakan RPP Minerba

WARGASERUJI – Dikembalikannya Rancangan Perubahan ke-6 Peraturan Pemerintah (RPP) nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) paska lebaran lalu oleh Sekretariat Negara, merupakan “tamparan keras” Presiden kepada Menteri ESDM. Alasannya jelas, Menteri BUMN tidak mau atau belum memberikan paraf setiap lembar RPP yang ada.

Sikap Sekretaris Negara (Sekneg) tersebut patut diapresiasi dengan acungan dua jempol. Penolakan Presiden melalui Sekneg sebagai signal keras bahwa Kementerian ESDM dinilai tidak taat azas terhadap UU dalam merivisi sebuah peraturan, termasuk terhadap UU Nomor 4 tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara, sekaligus atas UU nomor 12 tahun 2011 tentang Hirarki dan Tata Cara Pembuatan Undang Undang.

Atau sebaliknya pengembalian RPP itu oleh Sekneg mungkin bocor bahwa KPK akan meningkatkan kasus perpanjangan PT Tanito Harum ketingkat penyidikan.

Karena sejak semula RPP nomor 23 tahun 2010 yang diajukan Menteri ESDM dinilai aneh. Ibarat operasi intelijen, semua proses dilakukan dengan sunyi senyap, tidak seperti yang diatur dalam UU nom0r 12 tahun 2011.


Semestinya setiap akan melakukan perubahan sebuah peraturan, selalu diawali sosialisasi terhadap stakeholder. Mengingat RPP No.23 tahun 2010, lebih banyak bersifat teknis, justru lazimnya harus diawali dengan sosialisasi dan bahkan lewat Forum Group Discussion (FGD). Kementerian dapat melakukan FGD dengan Persatuan Ahli Pertambangan Indonesia(PERHAPI), Ikatan Ahli Geologi Indonesia(IAGI), atau fakultas yang terkait aktifitas pertambangan di berbagai perguruan tinggi.

Namun yang terjadi, Kementerian ESDM justru melakukan komunikasi terbatas dan sepihak dengan pihak pemilik tambang PKP2B. Kementerian ESDM tercatat menghiraukan amanah UU Minerba, dimana Sumber Daya Alam (SDA) semestinya diletakkan pada filosofi “dimiliki oleh semua rakyat Indonesia, dan dikelola Negara untuk kepentingan rakyat”.

Oleh Menteri ESDM justru perubahan PP sebatas dikomunikasikan dengan pemilik tambang, tanpa menghiraukan pihak-pihak terkait, baik asosiasi, universitas dan bahkan Non-Government Organization (NGO) yang atas UU yang ada, berhak mengetahui keberadaan SDA.

Sekitar Oktober 2018, kami mendapatkan bocoran bahwa RPP tersebut telah lolos harmonisasi ke Kementerian Hukum dan HAM, tanpa proses harmonisasi terlebih dahulu ke Kementerian BUMN. Sikap potong kompas oleh Kementeriaan ESDM yang selanjutnya mengirimkan langsung ke Sekretariat Negara untuk mendapat tanda tangan Presiden, menjadi langkah Menteri ESDM yang patut dipertanyakan. Apalagi langkah Menteri ESDM, terkait dengan keberadaan SDA (batubara) yang langsung menyentuh ketahanan energi nasional.

Mengingat kepentingan negara atas SDA, dan khususnya bagi ketahanan energi nasional jangka panjang, Sekneg dan Menteri BUMN mempunyai sikap lain. Yang jauh berbeda dengan sikap Kementeriaan ESDM.

Melalui penilaian menyeluruh atas UU Minerba, dan “roh” UU Minerba untuk memperbesar peran BUMN, Menteri Sekretaris Negara mencium gelagat aneh atas RPP yang diusulkan oleh Menteri ESDM. Atas alasan itu, Sekneg mengirimkan surat kepada Menteri BUMN awal Januari 2019 untuk memintakan tanggapan dan paraf.

Oleh Meneg BUMN, surat Sekneg telah direspon pada 11 Maret 2019, yang intinya Kementerian BUMN sesuai isi dan perintah UU Minerba menuntut hak prioritas kepada BUMN Tambang untuk mengelola tambang PKP2B yang telah dan akan berakhir izin kontraknya. Oleh BUMN dilakukan lebih untuk menyesuaikan atas amanah UU Minerba, khususnya untuk menjaga ketahanan energi nasional.

Diduga usulan RPP yang tak lazim ini kental mengangkat kepentingan sepihak, yaitu pemilik PKP2B. Proses pengajuan RPP terlihat sebatas mengamodir kepentingan 8 konglomerat batubara daripada kepentingan nasional. Padahal 8 PKP2B generasi pertama, awalnya dimiliki oleh BUMN juga, yaitu PN Batubara. Melalui Kepres nomor 75 tahun 1996, Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi IB Sujana lahan tambang batu bara tersebut diambil alih dikerjasamakan dengan swasta asing dan swasta nasional.

Salah satu dari kedelapan pemilik PKP2B yaitu PT Tanito Harum (milik Kiki Barki) telah berakhir pada 15 Januari 2019, akan tetapi RPP ke-6 tak kunjung diteken oleh Presiden Jokowi. Harus diakui, proses ini menjadi kesalahan Kementeriaan ESDM (melalui Dirjen Minerba) yang tidak mempersiapkan dengan baik, agar paska berakhirnya PKP2B dapat berjalan sesuai dengan amanah UU Minerba, khususnya BUMN Pertambangan dalam memperkuat ketahanan energi nasional.

Sebaliknya yang terjadi, Menteri ESDM dan Dirjen Minerba justru terkesan panik dengan memaksakan perubahan PKP2B PT Tanito Harum menjadi IUPK pada tanggal 15 Januari 2019 dengan menggunakan payung hukum lama dan kontroversial (pemerintahan SBY Budiono), yaitu PP nomor 77 tahun 2014. Padahal PP ini dinilai mengakibatkan merugikan negara, karena kewajiban divestasi awalnya 51% bagi pemegang Kontrak Karya kepada Pemerintah menjadi 30% untuk tambang dibawah permukaan (undergroundmining).

Bahkan PP tersebut telah direvisi ke-4 kalinya menjadi PP nomor 1 tahun 2017 yang telah dijadikan payung hukum oleh Kementerian ESDM untuk merubah KK PT Freeport Indonesia menjadi IUPK agar tidak melanggar UU Minerba.

Menurut data Kementerian ESDM, 7 perusahaan PKPB2B (Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara) generasi pertama yang sudah dan akan berakhir waktunya sebagai berikut:

  1. PT Tanito Harum – 15 Januari 2019, seluas 35.757 Ha
  2. PT Arutmin Indonesia – 02 November 2020, seluas 70.153 Ha
  3. PT Adaro Indonesia – 30 September 2022, seluas 34.940 Ha
  4. PT Kaltim Prima Coal – 31 Desember 2021, seluas 90.938 Ha
  5. PT Multi Harapan Utama – 02 April 2022, seluas 46.063 Ha
  6. PT Kideco Jaya Agung – 13 Maret 2023, seluas 50.921 Ha
  7. PT Berau Coal pada – 26 April 2025, seluas 118.400 Ha

Sehingga tak salah KPK mensinyalir ada dugaan pelanggaran dilakukan oleh pejabat di Kementerian ESDM terhadap regulasi atas perubahan PKP2B oleh PT Tanito Harum menjadi IUPK. Infonya sudah banyak pejabat KESDM seperti “strikaan” mondar mandir ke KPK untuk dimintai keterangannya terkait perpanjangan dan perubahan IUPK PT Tanito Harum, termasuk beberapa ahli ahli pertambangan dan hukum dimintakan keterangannya.

Untuk PKP2B yang semestinya akan berakhir dua tahun kedepan, semestinya Menteri ESDM dapat lebih mempersiapkan untuk kepentingan BUMN Pertambangan. Namun ironisnya, justru pengajuan ijin perpanjangan yang seharusnya dapat diajukan paling cepat dua tahun sebelum kontrak habis dan paling lambat enam bulan sebelum berakhirnya kontrak, justru oleh Menteri ESDM dalam RPP dapat diajukan lima tahun sebelum kontrak berakhir. Ini terlihat dengan jelas, bagaimana RPP dibuat sebatas untuk mengakomodir kepentingan pemilik PKP2B.

Mengingat RPP No.23/2010 telah ditolak Presiden, seharusnya peristiwa itu semakin meyakinkan semua penyidik KPK bahwa perubahan dan perpanjangan izin dalam bentuk IUPK terhadap PT Tanito Harum adalah pelanggaran hukum. Adapun nilai kerugian negara sangat mudah dihitung, yaitu keuntungan yang harusnya bisa dinikmati oleh BUMN ternyata dinikmati oleh PT Tanito Harum. Maka bisa jadi wajib hukumnya untuk dilakukan proses penyidikan untuk menentukan siapa tersangkanya.

Medan 19 Juni 2019
Direktur Eksekutif CERI
Yusri Usman

Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulisnya. Tak sependapat dengan tulisan ini? Silahkan tulis pendapat kamu di sini

Tulisan ini sepenuhnya tanggungjawab penulisnya. Redaksi Katarsis.id tidak memiliki tanggungjawab apapun atas hal-hal yang dapat ditimbulkan tulisan tersebut, namun setiap orang bisa membuat aduan ke redaksi@katarsis.id yang akan ditindaklanjuti sebaik mungkin.

Ingin Jadi Penulis, silahkan bergabung di sini.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Artikel Terkait