Inkompetensi dan pencitraan rezim punya dampak lebih buruk dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) daripada NSRI (Negara Serikat Republik Indonesia). Ini juga sesuai dengan perkembangan organisasi di zaman internet. Semua serba horizontal, bukan piramidal. Bekerja secara terdistribusi dalam jejaring, distributed network. Tidak centralized.
Untuk negara kecil seperti Malaysia saja sudah terbukti federasi membuat Malaysia lebih berhasil dalam beberapa hal, namun demokrasinya buruk. Indonesia tidak saja luas dan beragam tapi juga kepulauan.
Keberhasilan sebuah rezim tidak saja ditentukan oleh kompetensi orang-orangnya tapi juga rancangan kelembagaanya. Islam adalah rancangan kelembagaan yang cocok bagi banyak kelompok yang majemuk.
Manusia yang beragam agama, suku dan bangsanya yang hidup di luar Islam hampir pasti mengalami kesulitan. Sejarah imperium Romawi berdarah-darah. Sementara itu Islam menjamin kebebasan melaksanakan agama masing-masing. Jadi desain kelembagaan juga sangat penting.
Makin luas sebuah kawasan tatanan organisasi, makin tidak mungkin diselenggarakan secara terpusat. Semuanya akan lambat karena birokratis. Pengalaman Orba hingga saat ini menyebabkan ketimpangan spasial yang luar biasa antara DKI/Jawa dan di luar Jawa.
Khilafah juga berbentuk federasi dengan banyak daerah perdikan. Nusantara di bawah khilafah Turki Usmani juga dihuni banyak kerajaan yg otonom. Nilai-niali Pancasila tumbuh subur saat Nusantara hidup dalam naungan Khilafah ini.
Untuk Indonesia yang kepulauan saya usul agak berbeda: pemerintah pusat/federal sebagai syndicator berkuasa di laut serta sektor keuangan, luar negeri, hankam, dan kepolisian. Gubernur (bukan Bupati/walikota) ngurusi wilayah darat provinsi dengan otonomi luas.
NKRI sudah berkali-kali terancam disintegrasi. Lalu reformasi memberi jalan bagi desentralisasi dengan Kabupaten/kota sebagai daerah otonom. Skala Kota dan Kabupaten terlalu kecil resources-nya. Ini harus atau bisa dipandang sebagai proses menuju federalisasi. Jadi, bagi saya NSRI lebih cocok bagi Negara Republik Indonesia di abad 21 sebagai Poros Maritim Dunia.
Melihat relasi personal Habibie dan Xanana Gusmao yang sangat dekat, saya pikir keduanya meyakini kemerdekaan dalam persatuan jauh lebih penting. Pemerintah yang sentralistik sudah outdated. Mungkin bagi keduanya, NKRI hanya mitos: memenuhi kepala tapi tidak di hati.
Jatingaleh, 13/9/2019