SERUJI.CO.ID – Kinerja pendidikan bangsa ini sebagian besar akan ditentukan oleh kinerja guru. Mengapa? Rasulullah mengatakan bahwa di dunia ini hanya dua jenis pekerjaan: guru dan selain guru. Tentu yang dimaksud oleh Rasulullah bukan hanya guru profesional yang digaji.
Kategorisasi Rasulullah ini sesuai benar dengan prinsip tiga pilar pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara: keluarga, masyarakat, dan perguruan. Artinya, pendidikan bagi semua harus dilakukan oleh semua. Eduction for all is only possible by all. Tidak mungkin, bahkan tidak boleh pendidikan hanya dilaksanakan oleh guru profesional di sekolah.
Seseorang boleh disebut guru pada saat dia mendidik sekaligus dengan memberi teladan. Seseorang disebut murid pada saat dia belajar sesuatu dan berusaha melakukan teladan sang guru.
Ibu adalah guru pertama dan utama dalam keluarga di rumah. Ayah adalah kepala sekolah di rumah. Manajer terminal adalah guru yang mengajarkan kebersihan dan ketertiban dengan menyediakan toilet terminal yang bersih serta lingkungan yang tertata rapi. Sopir angkot adalah guru yang mengajarkan tertib berlalu lintas dan keramahan warga kota saat menyapa dengan “Assalaamu’alaykum” pada para penumpangnya dan menjalankan angkotnya secara terjadwal, dan taat aturan lalu lintas.
Walikota adalah guru yang mengajarkan kepedulian, disiplin dan hak azasi saat menyediakan angkutan publik dan layanan publik lainnya yang terjangkau, tepat waktu, ramah, aman dan nyaman.
Banyak hal yang penting dalam hidup yang hanya bisa diajarkan melalui nglakoni urip, karena tidak mungkin diajarkan di depan kelas di sekolah.
Sekolah adalah lingkungan buatan yang tidak mungkin memberikan semua pengalaman yang dibutuhkan bagi warga untuk belajar hidup sehat, produktif dan bertanggungjawab. Sekolah adalah lingkungan yang terlalu nyaman, tidak mungkin memberikan tantangan dan resiko yang nyata.
Wajib Belajar tidak bisa, tidak mungkin dan tidak boleh diartikan menjadi Wajib Sekolah. Tujuan belajar itu akhirnya adalah untuk memperbaiki kualitas hidup bermasyarakat.
Tujuan belajar dan tujuan pendidikan tidak boleh berakhir di sekolah.
Apalagi di era digital saat ini. Tembok-tembok sekolah yang tinggi sedang dilubangi oleh internet. Formalisme persekolahan dengan tetek bengeknya seperti kurikulum kaku yang dirumuskan secara terpusat oleh para pakar, dan guru profesional tidak lagi memadai bagi sebuah upaya mendidik semua warga muda dengan gaya belajar, bakat dan minat yang amat beragam.
Mempersempit pendidikan hanya sekedar persekolahan saja akan membuat pendidikan menjadi barang langka yang makin mahal dan tidak relevan dengan kebutuhan warga muda. Pendidikan harus dilihat sebagai upaya memperluas kesempatan belajar, seperti pembangunan sebagai upaya memperluas kemerdekaan.
Pada saat capaian pendidikan kita yang diukur melalui PISA dan TIMS tetap di papan bawah, kita tidak perlu merasa terintimidasi dengan kriteria yang ditetapkan oleh negara-negara yang dengan congkak menyebut dirinya “negara maju” itu. Negara-negara model itu saat ini menghadapi masalah yang sama: makin terjerumus dalam utang, perubahan iklim dan pemanasan global, ancaman perang nuklir, dan keruntuhan sosial serta kehancuran nilai-nilai berkeluarga.
Kita perlu cermati kembali nasehat Ki Hadjar Dewantara bahwa pendidikan itu adalah soal membangun jiwa merdeka, bukan soal capaian matematika dan sains saja.
Sistem Pendidikan Nasional kita, dengan guru sebagai komponen pentingnya, harus digerakkan untuk menyediakan prasyarat budaya bagi bangsa merdeka, yaitu jiwa merdeka. Bukan sekedar kompetensi dan daya saing serta akhlaqul karimah.
Jiwa merdeka itu hanya bisa ditularkan oleh guru yang berjiwa merdeka pula. Bukan guru berjiwa pegawai yang mudah diintimidasi saat pemilihan umum.
Gunung Anyar, 25/11/2018