Sport dan Politik
Urusan sport dan politik bukanlah urusan baru. Wikipedia membahas “Sport and Politics” dengan 87 referensi. Sport bagi para politisi selalu dijadikan ajang diplomasi. Sejarah pesta olahraga olimpiade selalu diwarnai diplomasi dan ketegangan, baik antar negara maupun terkait isu ras, gender dan keadilan sosial. Tahun 70 an olahraga catur antara Bobby Fischer dan Boris Spasky, selalu dimanfaatkan Amerika vs Uni Sovjet (Russia) sebagai perang urat syaraf.
Di Amerika, akhir tahun lalu, pemain bola (National Football Lague) Amerika menyampaikan tanda protes dengan duduk satu lutut dan tangan ke dada ketika lagu kebangsaan dikumandangkan. Hal ini sebagai simbol penolakan rezim Trump yang rasialis. Langsung saja Trump 4 kali men tweets mengecam mereka dan manajemen NFL yang biadab, tidak menghormati simbol negara mereka.
Tapi, olahraga juga sering digunakan untuk kebaikan. Winter Olympics tahun ini di Korea Selatan, ditandai dengan pengiriman delegasi penting dari Korea Utara, musuh berbuyutan. Dunia berharap ada langkah perdamaian setelah olimpiade ini nantinya.
Dalam tradisi Romawi, olahraga adalah panggung untuk kehormatan. Disitulah manusia tidak boleh menjadi pengkhianat. Apa yang disepakati diarena laga, tidak boleh dikhianati, setidaknya dimata penonton. Hal ini diperlihatkan dalam kisah yang diangkat dalam film populer “Ben-Hur” dan “Gladiator”. Permusuhan selesai di arena, meskipun raja dipermalukan.
Piala Presiden dan 2019
Seribu kali Piala Presiden dinyatakan panitia sekedar olahraga, sejuta kali rakyat menganggap berbeda. Presiden sudah lebih awal menyerukan kepada pendukungnya untuk kampanye, beberapa bulan lalu. Presiden sudah mengatakan ini tahun politik. Dan memang ini adalah tahun politik. Ketua Umum PSSI, sudah mencalonkan diri sebagai calon gubernur yang dianggap calon oposisi (Gerindra dan PKS). Makanya, seluruh rakyat yang nonton pembukaan Piala Presiden, Januari lalu, di Bandung, melihat dia duduk dipojokan. Padahal seharusnya dia yang paling depan.
Piala Presiden, dibuka dan ditutup dengan menampilkan menteri-menteri non olahraga. Apa urusan Wiranto, menteri urusan politik, mendampingi Jokowi beri piala? absurd tentunya.
Dari insiden kemarin, di mana Anies Baswedan, Gubernur Ibukota Jakarta, yang dipersepsikan tokoh-tokoh politik “dianiaya” oleh Jokowi atau mungkin tangan kanannya seperti Maruarar, dan juga menciptakan ketegangan antar rakyat, dapat ditarik pelajaran bahwa Anies Baswedan memang sudah menjadi “momok” menakutkan bagi kemenangan Jokowi ke depan. Anies sudah menjadi ikon simbol kontra Jokowi. Artinya, bangsa ini sudah punya tambahan alternatif bagi calon presiden ke depan.
Namun, Anies Baswedan, dalam pernyataannya menanggapi pro kontra insiden itu, dengan mengatakan di berbagai media, “Terima Kasih Presiden” atas kemenangan dan piala bagi Persija, menunjukkan Anies seorang pemimpin dewasa. Anies seperti kaum elit Romawi, yang melihat urusan olahraga selesai digelanggang.
(ARif R/Hrn)