Kanal

Pro-Kontra

Populer

Kirim Tulisan

Refleksi Milad: Muhammadiyah dan Tradisi Pandawa

Jeffrey D. Sachs menyebutkan tiga modal utama yang bisa menjadi senjata bangsa-bangsa untuk bisa “survive and strive“, bertahan dan berkembang, yaitu modal geografi, modal teknologi, dan modal institusi.

Letak geografis sebuah negara adalah berkah, given, dari Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat. Negara-negara yang beriklim sedang (temperate) yang menyebar di sekujur Garis Khattul Istiwa’ (Katulistiwa) punya potensi untuk lebih makmur dibanding negara-negara yang jauh di atas garis yang membuatnya gersang dan di bawah garis yang membuatnya beku.

Indonesia mendapatkan berkah modal yang sangat berharga. Jamrud Katulistiwa, jaminan kemakmuran. Tongkat dan batu jadi tanaman di Nusantara, kata Koes Plus. Tapi di negeri Indonesia tongkat dipakai menggebuk buruh dan batu untuk melempari polisi.

Modal teknologi adalah sebuah niscaya. Di dunia global penguasaan teknologi akan menjadi faktor pembeda. Akses terhadap teknologi terbuka bagi bangsa mana saja selama strategi pendidikannya bisa menjawab tantangan globalisasi, dan bisa menempatkan diri pada sisi sejarah yang benar. Teknologi adalah ciptaan manusia yang bisa diakses manusia mana saja yang mumpuni.


Faktor ketiga adalah institusi, dalam hal ini adalah pemerintahan. Lokasi geografis adalah given dari Tuhan, sedangkan teknologi dan institusi adalah buatan manusia. Banyak negara-negara kaya sumber daya alam terkena kutukan “Resource Curse“, alih-alih makmur malah gembel.

Institusi pemerintahan yang memble dan plonga-plongo akan membuat sebuah bangsa yang secara geografis potensial makmur menjadi terpuruk, dan hanya bisa hidup sebagai kuli di tengah bangsa-bangsa dan bangsa di tengah para kuli, “Coolies among nations, nation among coolies,” kata Bung Karno.

Bahwa bangsa Eropa dan Amerika yang berada pada negara empat musim ditakdirkan menjadi bangsa yang kaya dan maju adalah omong kosong. Banyak studi yang membantah soal itu.

Anderson dan Acemoglu dalam buku “Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty” (2015) membuktikan bahwa negara menjadi maju karena institusi pemerintahannya ‘inclusive” melibatkan rakyat dalam berbagai keputusan strategis.

Institusi negara yang “extractive” akan menjadi negara miskin dan terbelakang. Kebijakan extractive adalah kebijakan yang mengeksploitasi rakyat dengan mengambil keputusan tanpa “manufacturing consent” melibatkan kesepakatan rakyat, misalnya undang-undang yang digedok di tengah malam ketika rakyat pulas.

Muhammadiyah adalah instutusi sosial yang bisa mengisi kelemahan institusi formal negara yang ekstraktif. Muhammadiyah bisa menjadi contoh institusi sosial yang inklusif yang menjadi modal besar untuk kemakmuran bangsa.

Dalam pergelaran Wayang Climen Ki Seno Nugroho Indonesia sekarang tengah memasuki episode “goro-goro” menjelang dinihari, yang sangat krusial dalam sejarah eksistensi bangsa.

Muhammadiyah harus tetap berada di sisi kanan Pandawa, the right side of history, berada pada sisi sejarah yang benar dan terus berjuang melawan angkara murka.

Mungkin sekarang Indonesia tengah menjalani episode lakon “Petruk Dadi Ratu” dengan munculnya Si Petruk menjadi raja dengan gelar besar Prabu Kantong Bolong.

Bumi gonjang-ganjing, langit kelap-kelap, katon lir kincanging alis, risang. (*)

Penulis, alumnus SD Muhammadiyah 14, Manukan Kulon, Surabaya

Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulisnya. Tak sependapat dengan tulisan ini? Silahkan tulis pendapat kamu di sini

Tulisan ini sepenuhnya tanggungjawab penulisnya. Redaksi Katarsis.id tidak memiliki tanggungjawab apapun atas hal-hal yang dapat ditimbulkan tulisan tersebut, namun setiap orang bisa membuat aduan ke redaksi@katarsis.id yang akan ditindaklanjuti sebaik mungkin.

Ingin Jadi Penulis, silahkan bergabung di sini.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Dhimam Abror
Dhimam Abror
Jurnalis

Artikel Terkait