Bonus atau Bom Demografi: Sebuah Agenda Deschooling

Ketrampilan berpikir orde tinggi dan kritis secara lambat tapi pasti terlantar. Literasi tidak berkembang walaupun lebih lama bersekolah. Gejala ini terjadi di mana saja, termasuk di AS. Generasi era Obama lebih buruk literasinya daripada generasi Abraham Lincoln. Generasi Jokowi lebih buruk literasinya dibanding generasi Bung Karno.

0
613

Oleh:
Prof. Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya


SERUJI.CO.ID – Tulisan Rektor IPB Prof. Arief Satrya baru-baru ini di KOMPAS, untuk merespon wacana Revolusi Industri 4.0 Menristekdikti, menarik untuk dicermati. Untuk konteks Indonesia yang sedang menyongsong bonus demografi, kemampuan kita sebagai bangsa menghadapi disrupsi akan ditentukan oleh budaya belajar kita. Jika kemampuan belajar spesies kita menjelaskan posisi kita di puncak rantai makanan, maka budaya belajar bangsa ini akan menentukan apakah bonus demografi itu akan menjadi berkah atau bom demografi.

Sayang budaya belajar manusia justru dirusak oleh dominasi persekolahan dalam sistem pendidikan kita sejak revolusi Industri paling tidak 100 tahun lalu.

Di Indonesia, industrialisasi dimulai sejak Orde Baru di akhir 1960an. Akibatnya yang berkembang bukan budaya belajar tapi budaya bersekolah. Masyarakat merancukan bersekolah dengan belajar. Lalu merancukan ijazah dengan kompetensi. Wajib belajar diartikan Wajib Sekolah. Tidak bersekolah langsung dianggap kampungan.

Begitulah sistem persekolahan dijadikan instrumen teknokratik terpenting oleh banyak Pemerintah dalam menjalankan modernisasi dan pembangunan.

Di tangan Pemerintah yang memuja pasar dan investasi, pendidikan dirumuskan secara sengaja bukan sebagai strategi kebudayaan. Pendidikan bukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tapi melalui persekolahan massal pendidikan dibangun untuk menyiapkan tenaga kerja yang dibutuhkan oleh industri. No more no less.

Rancangan konsep persekolahan sejak diciptakan hingga saat ini tidak banyak berubah: lini produksi dengan obsesi standard. Warga muda yang semula beragam, lulus sekolah jadi seragam sesuai standard. Variasi dihukum. Apalagi kreativitas. Pelajaran bahasa, seni dan sejarah adlah kasta sudra sementara matematika dan fisika jadi brahmana. Mungkin murid belajar banyak kecuali menjadi dirinya sendiri.

Makin internasional standar-nya, makin terasing murid dari jati dirinya sendiri. Standar yang mengundang perankingan bertahun-tahun menyuburkan perasaan kehilangan self-respect yang luas. Murid bingung kalau tidak diranking. Tapi jika diranking berada di papan atas, maka segera jumawa, tapi jika di papan bawah langsung depressed.

Setiap dosen yang jeli akan mampu mengenali bahwa budaya membaca dan menulis mahasiswa-mahasiswanya terus menurun. Sebagai bagian dari budaya belajar yang penting, pelajaran membaca dan menulis merupakan pelajaran yang terbelakang. Kemampuan simbolik yang penting untuk kreatif tidak berkembang. Murid disibukkan oleh latihan-latihan soal pilihan berganda bertubi-tubi yang menentukan kelulusan mereka.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini